Jejak Abadi Sang Gembala: Sejarah dan Peran Paus dalam Gereja dan Dunia



 Ketika membicarakan sejarah Gereja Katolik, sulit untuk memisahkan kisahnya dari perjalanan panjang para Paus. Mereka bukan hanya pemimpin spiritual bagi miliaran umat, tetapi juga figur politik, intelektual, dan simbol kontinuitas lembaga yang telah berdiri lebih dari dua milenium. Jejak para Paus tak hanya terukir dalam ajaran dan kebijakan gereja, tetapi juga dalam arsitektur, sejarah dunia, dan pergulatan umat manusia dengan kekuasaan, iman, dan perubahan zaman.

Segalanya bermula di Roma, sekitar abad pertama Masehi, ketika seorang nelayan dari Galilea bernama Simon, yang kemudian dijuluki Petrus oleh Yesus, menjadi tokoh utama dalam pembentukan gereja perdana. Dalam Injil Matius, Yesus menyatakan, "Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku." Kalimat ini kelak menjadi dasar teologis bagi jabatan kepausan. Petrus diyakini menjadi Uskup Roma pertama dan meninggal sebagai martir di sana sekitar tahun 64 M, di masa Kaisar Nero. Di tempat ia wafat dan dimakamkan itulah, ribuan tahun kemudian, Basilika Santo Petrus berdiri megah di jantung Kota Vatikan.

Setelah Petrus, muncul deretan nama-nama pemimpin gereja yang mulai dikenal sebagai uskup Roma. Namun, konsep Paus seperti yang kita kenal sekarang masih berkembang secara bertahap. Gelar “Paus” sendiri berasal dari kata Latin *papa*, yang berarti “ayah,” dan mulai digunakan secara resmi pada masa Paus Siricius pada akhir abad ke-4. Saat Kekaisaran Romawi runtuh di Barat, para Paus secara perlahan mengambil peran yang lebih besar, bukan hanya dalam urusan gereja, tetapi juga sebagai penengah politik, pelindung masyarakat, bahkan penguasa wilayah.

Abad pertengahan menjadi masa penting bagi perkembangan kekuasaan kepausan. Paus Gregorius VII (1073–1085) menegaskan supremasi paus atas raja-raja dalam *Dictatus Papae*, yang menjadi fondasi doktrin *primasi paus*. Konflik besar seperti Pertikaian Investitur menyoroti perebutan kuasa antara gereja dan negara. Paus bisa mengangkat atau menjatuhkan raja, bahkan mengeluarkan ekskomunikasi—hukuman spiritual yang berarti pengucilan dari komunitas Kristen.

Paus-paus di masa Renaisans memperlihatkan sisi lain dari lembaga ini—sebagai patron seni dan arsitektur. Paus Julius II, misalnya, mempekerjakan Michelangelo untuk melukis langit-langit Kapel Sistina, dan proyek-proyek besar seperti pembangunan Basilika Santo Petrus menjadi bukti nyata peran artistik dan kultural gereja. Namun, kekayaan dan kekuasaan yang luar biasa ini juga memunculkan kritik dan kemarahan, yang akhirnya melahirkan Reformasi Protestan pada abad ke-16. Paus Leo X, yang menjual indulgensi untuk membiayai basilika agung, menjadi tokoh kontroversial dalam perpecahan gereja tersebut.

Setelah era kontrareformasi dan munculnya Ordo Jesuit, lembaga kepausan mengalami transformasi demi menjaga relevansinya. Masa Pencerahan dan Revolusi Prancis menantang otoritas gereja dengan gagasan rasionalisme dan sekularisme. Kekuasaan teritorial Paus makin terkikis, hingga akhirnya pada tahun 1870, negara Kepausan runtuh, dan Vatikan kehilangan hampir seluruh wilayahnya. Paus Pius IX menanggapi perubahan itu dengan dogma *Infalibilitas Paus* dalam Konsili Vatikan I, yang menyatakan bahwa paus tidak dapat salah dalam hal ajaran iman dan moral saat berbicara *ex cathedra*.

Paus Leo XIII (1878–1903) membawa nuansa baru dengan membuka dialog terhadap dunia modern. Ia menulis ensiklik *Rerum Novarum*, yang menyentuh isu buruh, keadilan sosial, dan ekonomi—tanda bahwa kepausan mulai menanggapi persoalan dunia kontemporer. Setelah Perjanjian Lateran 1929 antara Paus Pius XI dan Benito Mussolini, Vatikan diakui sebagai negara merdeka, dan Paus menjadi kepala negara terkecil di dunia.

Abad ke-20 dan ke-21 menampilkan wajah kepausan yang lebih global. Paus Yohanes XXIII mengadakan Konsili Vatikan II (1962–1965) yang mereformasi liturgi, membuka dialog antaragama, dan mendekatkan gereja pada dunia modern. Paus Yohanes Paulus II, yang berasal dari Polandia, membawa semangat antikomunisme dan rekonsiliasi global. Ia adalah paus pertama yang mengunjungi sinagoga, masjid, dan berbicara di parlemen dunia.

Kemudian datang Paus Benediktus XVI, seorang teolog brilian yang mengundurkan diri dari jabatan paus pada 2013—sesuatu yang belum pernah terjadi sejak abad pertengahan. Penerusnya, Paus Fransiskus, menjadi Paus pertama dari benua Amerika, yang terkenal dengan gaya hidup sederhana dan fokus pada isu-isu lingkungan, keadilan sosial, serta hubungan antaragama.

Perjalanan Paus bukanlah kisah tentang satu orang, tetapi tentang sebuah jabatan yang mewakili kontinuitas, adaptasi, dan perjuangan moral dalam menghadapi perubahan zaman. Dari bawah tanah Katakombe Roma hingga balkon Basilika Santo Petrus yang menghadap dunia, jabatan paus telah bertahan melewati kekaisaran, perang, krisis iman, dan revolusi.

Sejarah Paus adalah cermin dari sejarah manusia itu sendiri: rapuh, agung, penuh konflik dan pengharapan. Dalam dunia yang terus berubah, jabatan ini tetap berdiri—mengingatkan bahwa spiritualitas, di tengah kekuasaan dan zaman, masih punya suara.

Namun jabatan paus tidak pernah benar-benar lepas dari tantangan, baik dari luar maupun dari dalam Gereja sendiri. Dalam banyak momen sejarah, Paus harus menavigasi antara kekuatan duniawi dan idealisme rohani yang mereka emban. Misalnya, dalam abad ke-21, tantangan besar datang dalam bentuk krisis kepercayaan akibat skandal pelecehan seksual di kalangan klerus. Paus Benediktus XVI menghadapi gelombang kritik tajam atas penanganan gereja terhadap kasus-kasus yang telah disembunyikan selama puluhan tahun. Meskipun beliau dikenal sebagai teolog konservatif yang sangat cerdas, masa kepemimpinannya dihantui oleh sorotan tajam terhadap institusi yang dianggap kehilangan moralitas internal.

Ketika Paus Benediktus mundur, dunia dikejutkan. Banyak yang tidak menyangka bahwa seorang paus bisa meletakkan jabatannya secara sukarela, mengingat gelar itu secara tradisional dipegang seumur hidup. Namun langkah ini membuka jalan bagi transisi kepemimpinan yang lebih modern dan fleksibel. Dalam konteks inilah, muncul sosok Paus Fransiskus—lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires, Argentina.

Paus Fransiskus membawa angin segar dan semangat pembaruan. Ia menolak tinggal di Istana Apostolik dan memilih tinggal di rumah tamu Vatikan yang lebih sederhana. Ia juga dikenal sering menelepon umat secara langsung, berjalan kaki tanpa pengawalan berlebihan, dan tidak segan mengkritik Gereja sendiri atas kemewahan dan birokrasi yang menjauhkannya dari esensi pelayanan. Pilihan nama “Fransiskus”—terinspirasi dari Santo Fransiskus dari Assisi—merangkum semangatnya: kesederhanaan, cinta pada kaum miskin, dan perhatian terhadap alam.

Paus Fransiskus juga menjadi juru bicara global dalam isu-isu modern. Dalam ensiklik *Laudato Si’* (2015), ia mengangkat isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan sebagai tanggung jawab moral seluruh umat manusia. Ia berbicara lantang soal pengungsi, ketimpangan ekonomi, perang, dan perdagangan manusia. Ia bahkan membuka ruang dialog dengan komunitas LGBTQ dan menyuarakan inklusivitas, meskipun tetap dalam koridor ajaran resmi gereja.

Namun, reformasi yang dibawa Paus Fransiskus tidak selalu disambut hangat. Ada perlawanan dari kalangan konservatif dalam gereja yang merasa bahwa ia terlalu progresif. Beberapa kardinal secara terbuka mempertanyakan arah gereja di bawah kepemimpinannya. Tetapi di mata banyak orang di luar Gereja Katolik, Fransiskus menjadi simbol harapan, bahkan bagi mereka yang tidak beragama sekalipun.

Dari Petrus hingga Fransiskus, jabatan Paus telah berubah bentuk, tetapi tetap menjadi poros utama dalam struktur dan spiritualitas Gereja Katolik. Ia bukan hanya seorang imam tertinggi, tetapi juga tokoh dunia yang bersuara dalam isu-isu kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan. Di satu sisi, jabatan paus membawa beban tradisi ribuan tahun. Di sisi lain, ia dituntut untuk menjadi lentur, menjembatani masa lalu dan masa depan.

Sejarah paus, jika dilihat dari ketinggian waktu, tidaklah linier. Ia melibatkan skandal dan kekudusan, kekuasaan dan pengorbanan, kemegahan dan kerendahan hati. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang tetap: tugas untuk memelihara iman, menyatukan umat, dan menjadi gembala dalam dunia yang semakin rumit.

Hari ini, ketika dunia dilanda ketidakpastian dan krisis spiritual, sosok paus tetap berdiri di balkon Basilika Santo Petrus, mengangkat tangan memberi berkat, seakan berkata kepada dunia: “Jangan takut. Aku di sini bukan karena aku sempurna, tapi karena aku dipanggil untuk melayani.” Dalam kalimat itu, tersembunyi sejarah panjang, luka-luka lama, dan harapan baru yang tak pernah padam.

Peran seorang Paus bukan sekadar simbolik atau seremoni. Ia memegang fungsi yang sangat luas dan kompleks—baik secara spiritual, teologis, pastoral, politik, bahkan kultural. Dalam Gereja Katolik, Paus dikenal sebagai *Pontifex Maximus* (jembatan besar), sebuah istilah Romawi kuno yang diadopsi untuk menggambarkan tugas utama Paus: menjembatani antara Allah dan umat manusia.

Sebagai **Uskup Roma**, Paus memimpin Keuskupan Roma, yang secara historis dianggap sebagai yang pertama di antara sederajat. Dari sinilah muncul konsep *primasi Paus*—bahwa dalam hierarki gereja, dialah yang tertinggi dalam hal otoritas dan ajaran. Ia menjadi acuan doktrinal utama dalam hal iman dan moral. Ini termasuk peran Paus dalam menafsirkan Kitab Suci, menetapkan ajaran resmi Gereja (magisterium), serta menyusun ensiklik dan dokumen penting yang menjadi pedoman umat Katolik di seluruh dunia.

Paus juga merupakan **pemimpin Gereja Katolik Universal**, yang berarti ia menjadi gembala lebih dari satu miliar umat Katolik di berbagai belahan dunia, dengan konteks budaya, bahasa, dan tantangan yang sangat berbeda. Ia harus menjaga kesatuan doktrin, tetapi juga merespons isu lokal dengan bijak. Untuk itu, Paus bekerja dengan Kuria Roma—struktur administratif yang membantunya menjalankan pemerintahan gereja, yang mirip dengan kabinet dalam sistem negara.

Peran pastoral Paus tampak dalam berbagai aktivitasnya: memimpin misa besar di Vatikan, menerima audiensi umat, mengunjungi negara-negara, serta bertemu dengan pemimpin agama dan politik dunia. Dalam setiap perjalanan apostoliknya, Paus bukan hanya hadir sebagai figur rohani, tapi juga pembawa pesan damai, perdamaian antarumat beragama, dan solidaritas terhadap mereka yang tertindas.

Peran penting lain yang sering tidak terlihat secara langsung adalah **penunjukan para uskup dan kardinal**. Melalui keputusan-keputusan ini, Paus menentukan arah kepemimpinan Gereja masa depan. Ia juga memiliki kewenangan untuk memanggil Konsili Ekumenis (seperti Konsili Vatikan II), dan keputusan-keputusannya dapat membentuk Gereja secara teologis dan pastoral dalam jangka panjang.

Sebagai **Kepala Negara Vatikan**, Paus juga adalah kepala negara dari entitas merdeka terkecil di dunia. Meskipun Vatikan tidak memiliki kekuatan militer atau ekonomi besar, ia memiliki pengaruh diplomatik yang luar biasa. Vatikan memiliki hubungan diplomatik dengan lebih dari 180 negara dan memainkan peran aktif dalam isu-isu global seperti perdamaian, hak asasi manusia, kemiskinan, dan krisis kemanusiaan.

Paus juga menjadi **suara moral global**, terutama dalam zaman ketika banyak institusi kehilangan kepercayaan publik. Ketika terjadi bencana, perang, atau ketidakadilan, dunia sering menoleh kepada Vatikan untuk pernyataan moral yang bisa menjadi rujukan. Paus tidak hanya berbicara untuk umat Katolik, tetapi seringkali untuk kemanusiaan secara keseluruhan.

Ada pula dimensi **kultural dan simbolik** dari kepausan. Setiap simbol dalam penampilan Paus—dari pakaian putih, cincin nelayan, hingga tongkat pastoral—memiliki makna teologis dan historis yang dalam. Ketika Paus berdiri di balkon Basilika Santo Petrus dan mengucapkan *Urbi et Orbi* (kepada kota dan dunia), itu bukan hanya berkat, tapi sebuah momen simbolis di mana dunia merasa ditenangkan oleh figur yang—meskipun manusia biasa—mewakili sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Dalam era digital, Paus juga menjelma menjadi figur **komunikator global**. Akun Twitter resmi @Pontifex, pernyataan video, pesan untuk generasi muda dalam World Youth Day—semua menjadi sarana baru untuk menyampaikan pesan Injil di era media sosial. Ini menjadi bagian dari tugas evangelisasi yang menyesuaikan diri dengan zaman.

Namun di balik semua tugas dan gelar itu, pada dasarnya Paus adalah **seorang gembala**. Seperti Yesus yang menggambarkan diri-Nya sebagai gembala yang baik, Paus dipanggil untuk merawat kawanan yang dipercayakan kepadanya—mereka yang setia, yang ragu, yang terluka, bahkan yang meninggalkan kawanan. Ia berjalan di antara spiritualitas dan dunia nyata, antara altar dan panggung global, antara keheningan doa dan keramaian politik.

Perjalanan Paus, dari jubah merah darah martir para pendahulunya hingga gaung doa dalam Kapel Sistina saat konklaf pemilihan paus, adalah kisah tentang kelanjutan. Sebuah tongkat estafet dari abad pertama hingga sekarang—dari Petrus sang nelayan hingga Fransiskus sang reformis—yang terus berjalan, menyusuri waktu, membawa terang dalam dunia yang penuh tantangan.

Dan dalam setiap langkahnya, di Vatikan maupun di dunia luar, Paus mengingatkan kita bahwa kekuatan terbesar Gereja tidak terletak pada kekuasaan atau harta, tapi pada kesetiaan terhadap kasih, kebenaran, dan harapan. Sebuah tugas berat yang selalu dimulai dari satu hal paling sederhana: menjadi hamba dari para hamba Tuhan.


Posting Komentar

0 Komentar