BAB
I
1.
Pembentukan
Masyumi
Dalam
rangka merespons Maklumat Pemerintah tanggal 4 November 1945 tersebut, umat
Islam di Indonesia kemudian mengadakan Muktamar Islam Indonesia yang diadakan
di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Muktamar ini dihadiri oleh
tokoh-tokoh dari berbagai organisasi Islam di Indonesia. Dua organisasi Islam
besar, yaitu NU dan Muhammadiyah merupakan pelopor dalam penyelenggaraan
muktamar tersebut. Muktamar kemudian, antara lain menghasilkan kesepakatan
bahwa perlu mendirikan sebuah partai Islam sebagai satu-satunya wadah penyalur
aspirasi dan perjuangan umat Islam Indonesia. Sehubungan dengan itu maka
disepakati dibentuklah sebuah partai Islam dengan nama Masyumi. Disepakati pula
bahwa dengan berdirinya Masyumi ini maka keberadaan partai-partai Islam lainnya
tidak diakui. Para pendukung Masyumi awalnya hanya empat organisasi Islam,
yaitu NU, Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Dalam
perkembangan kemudian, hampir semua organisasi Islam di Indonesia ikut menjadi anggota
Masyumi, kecuali Perti.[1]
Tampilnya
Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam kemerdekaan
Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah yang tidak dilatar belakangi
kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai
suatu keharusan sejarah bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.[2]
Masyumi berpandangan untuk menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan
dengan Islam baik dari segi ajaran maupun sejarahnya.[3]
Dalam
kepengurusan Masyumi terlihat mencakup berbagai-bagai golongan dalam umat
Islam. Hal ini terlihat dalam susunan Majelis Syuro dan Pengurus Besar. Dalam
Majelis Syuro, ketua adalah Hasyim As’ari (NU) dan wakilnya Wahid Hasyim (NU),
Agus Salim (PSII), Syekh Dja nil Djambek (pembaharu dari Sumatera Barat). .
sedang pengurus besar terdiri dari Abikusno, Natsir, M.Roem, dan Kartosoewiryo.[4]
Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak hanya
sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui
wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat
dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah cerminan wakil-wakil
sejumlah partai dan gerakan sosial keagamaan Islam tersebut.[5]
Apabila
dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi adalah dalam
rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai cerminan dari potensi yang
sangat besar dan konkret. Pada masa itu, masa konkrit adalah masa yang tanpa
pimpinan politik yang berasaskan islam. Dapat dipahami pula bahwa munculnya
masyumi pada tahun 1945 di pandang sebagai jawaban positif umat, terhadap
manifesto politik yang mendorong partai-partai, dan direspon oleh pihak-pihak
lain. Sehingga umat Islam pun merespon kesempatan tersebut dengan mendirikan
partai yang berasaskan Islam, yang diberi nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia). Yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik yang berasaskan
Islam Indonesia pada waktu itu.
Ketua
umum partai Masyumi yang pertama adalah Dr.Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang terkenal dari Syarikat
Islam, dan dia dibantu oleh
pemikir-pemikir intelektual muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara,
Muhammad Roem, Mr. Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan
Mohammad Natsir.
BAB
II
A.
Visi
Misi partai Masyumi
Pergerakan
Masyumi di Indonesia 1945-1960, merupakan partai politik yang mempunyai tiga
lapangan yaitu
1. Memperluas
pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik.
2. Memperkokoh
barisan umat Islam untuk berjuang mempertahankan agama, dan kedaulatan negara.
3. Melaksanakan
kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang berkeperimanusiaan,
persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam.[6]
Konsep
dan pemikiran visi dan misi partai
Masyumi, adalah menegakkan Kedaulatan Negara Republik Indonesia dan
Agama Islam, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, sedangkan
dalam anggaran dasar anggaran rumah tangga partai Masyumi yang tertuang dalam
pasal III diungkapkan untuk :
1. Menginsafkan
serta memperluas pengetahuan serta kecakapan umat Islam Indonesia dalam
perjuangan politik.
2. Menyusun
dan memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang dan mempertahankan agama dan kedaulatan
negara.
3. Melaksanakan
kehidupan rakyat berdasarkan iman dan taqwa, pri kemanusiaan persaudaraan, dan
persamaan hak menurut agama Islam.
4. Bekerja
sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan menegakkan kedaulatan
negara.
Partai
Masyumi merupakan partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Untuk
sementara Masyumi mempertahankan struktur gandanya yang berasal dari zaman
Jepang, baik organisasi tertentu maupun perseorangan dapat menjadi anggotanya.
Namun setelah itu titik berat berubah : Masyumi menjadi partai politik yang
terdiri dari anggota-anggota perseorangan, tetapi juga mempunyai sejumlah
organisasi non politik sebagai “ anggota luar biasa “ yaitu NU, Muhamadiyah,
dan beberapa organisasi daerah di Jawa Barat yang di dirikan di Majalengka dan
Sukabumi. Susunan dewan partai Masyumi yang pertama dan Pengurus Besar pertama
memang menunjukkan bahwa Masyumi mencakup berbagai-bagai golongan dalam umat
Islam.[7]
Masyumi
berkiprah untuk tersebarnya ideologi Islam dalam masyarakat Indonesia, tanpa
menghalang pihak lain yang juga memperkuat asas Ketuhanan Yang Maha Esa,
tentang politik luar negeri, hubungan serta kerja sama dengan umat Islam
lainnya di negeri lain harus ditingkatkan.
Pilihan
Islam sebagai ideologi partai Masyumi adalah sejalan dengan latar belakang
pembentukan Masyumi. Karena cita-cita Islam sebagai Ideologi Masyumi sudah
tampak jelas, dalam rumusan tujuan yang pertama kali diputuskan dalam kongres
umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, pada pasal II ayat I,
yang berbunyi kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam, adalah
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. Dengan demikian,
menegakkan Islam tidak dapat dipisahkan dari Masyarakat, Negara dan
Kemerdekaan.
Masyumi
memang berniat berjuang menegakkan suatu masyarakat Islam, tetapi tidak untuk
suatu negara Islam secara terang-terangan, seperti yang dilakukan secara
pribadi oleh beberapa anggotanya misalnya Isa Anshary.[8]
Bagaimanapun
keadaannya, dalam naskah terakhir ini dijelaskan sepotong sejarah dunia, yang
berpusat pada Perang Dunia Kedua, untuk menjelaskan pertarungan antara
kediktatoran dan demokrasi. Kemudian digambarkan perjuangan kemerdekaan
Indonesia dan para pembaca diingatkan akan peranan Masyumi dan beberapa tokoh
pemimpinnya selama kurun waktu 1945-1950. Perubahan negara federal RIS menjadi
negara kesatuan terutama dihubungkan dengan mosi parlementer yang diajukan
Muhammad Natsir, ketua umum Masyumi dan perdana menteri pertama Republik
Kesatuan.[9]
Dalam
bab penutup telah dibantah berbagai jenis fitnah kaum komunis, dan para pembaca
diyakinkan bahwa Islam juga bersikap antikapitalis disamping antikomunis
sekaligus. Tetapi telah jelas kelihatan bahwa bahkan pada waktu itu Masyumi
memandang Partai Komunis sebagai musuh terbesarnya dan sebagai bahaya terbesar
bagi Indonesia. Sepuluh tahun setelah pemilihan umum pertama ini permusuhan
tersebut berkembang menjadi ledakan yang ukurannya tidak seorang pun dapat
menduga akan mungkin terjadi sebelumnya.
Perjuangan
politik Masyumi yang sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi
komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan teori-teori Marx, Lenin dan
lainnya. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang bisa menyesatkan
adalah PKI, yang disebarluaskan melalui media cetak seperti buku-buku tentang
Marxisme.
Pada
waktu didirikan Masyumi tanggal 7 November 1945 ketika kaum Muslimin didorong
untuk berjihad fi sabilillah, maka sudah tentu program darurat ini di tentukan
oleh perjuangan untuk kemerdekaan. Program dalam tahun 1946 menekankan
kebijaksanaan tentang perlunya terwujud cita-cita Islam dalam masalah
kenegaraan, sehingga suatu bentuk negara dapat tercipta, yang didasarkan kepada
kedaulatan rakyat, dan suatu masyarakat yang didasarkan kepada keadilan, sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena
itu, amatlah perlu memperkuat dan menyempurnakan asas-asas undang-undang dasar
yaitu asas-asas Pancasila, untuk mewujudkan masyarakat dan Negara Islam. Semua
kekuatan umat Islam harus dipusatkan dalam Masyumi untuk membela kemerdekaan
agama, negara dan bangsa. Agama yang dimaksud dalam rumusan ini sudah tentu
Islam yang dirasakan orang telah diserang bersamaan dengan serangan-serangan
terhadap Republik. Hasrat-hasrat khusus dalam bidang sosial adalah pertama-tama
dan terutama larangan-larangan lama tentang perjudian, penjualan minuman keras,
candu pelacuran dan riba.
Dalam
program tahun 1946 ini juga disebutkan sejumlah tuntutan yang lebih progresif,
seperti upah buruh minimum, pembatasan jam kerja, jaminan sosial, hukum agraria
untuk melindungi petani kecil, dan perbaikan cara-cara pertanian. Ekonomi harus
diarahkan kepada kesejahteraan rakyat, sehingga sistem kapitalis dengan
unsur-unsurnya yang jelas untuk kepentingan perseorangan harus dilawan. Kahin
meminta perhatian kita bahwa Masyumi tidaklah hanya sekadar mempergunakan
perkataan-perkataan yang enak didengar dalam program partai, tetapi memang
benar-benar telah menunjukkan prestasi dalam bidang sosial. Misalnya, sebagian
zakat yang dikumpulkan partai di gunakan untuk kebaikan masyarakat bagi
kepentingan para petani dan bantuan keuangan untuk para pedagang kecil.
BAB
III
A.
Pembubaran
Masyumi
Perpecahan
pertama dalam Masyumi telah terjadi dalam bulan Juli 1947. Sejumlah anggota di
bawah pimpinan Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata mendirikan kembali Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang lama, agar dapat duduk dalam kabinet sayap
kiri Amir Syarifuddin, sewaktu Masyumi bersikap sebagai partai oposisi.
Tetapi
yang lebih serius adalah ketegangan antara kiri Masyumi progresif, yang terdiri
dari para unsur “ sosialis agama”, dan golongan konserfatifnya, yang terdiri
dari para kiai dan ulama. Ketegangan ini kemudian berkembang menjadi perpecahan
yang akan memberi bekas pada pertentangan dalam umat islam dalam Indonesia baru
di masa selanjutnya.
Kesulitan-kesulitan
mulai muncul ke permukaan menjelang pengakuan kemerdekaan dan pembentukan RIS
yang federal itu. Seperti telah dikatakan, program Masyumi dalam tahun 1949
mempunyai semangat yang agak berbeda (dari yang sebelumnya). Titik beratnya
kelihatannya beralih dari rumusan-rumusan mengenai asas-asas keagamaan ke arah
sejumlah masalah praktis berkenaan dengan peralihan dari Republik Indonesia
(Yogya) kepada RIS, yang akan meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda yang
lama. Masalah-masalah tersebut misalnya meliputi keanggotaan dalam perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Adanya
perimbangan kekuatan partai-partai politik ini memberi peluang timbulnya campur
tangan Soekarno kemudian. Dari segi pandangan politik, dasawarsa kedua usia
Republik dapat disifatkan sebagai zaman Soekarno, yakni suatu zaman ketika Soekarno
semakin lama semakin banyak menghimpunkan kekuasaan negara di dalam tangannya
sendiri, dengan nama “ demokrasi terpimpin “. Selama sepuluh tahun tersebut,
peranan politik kelompok-kelompok Islam semakin lama semakin menciut, terutama
karena dibubarkannya Masyumi pada tahun 1960. Di pihak lain, Partai Komunis
berkembang menjadi partai yang yang terbaik organisasinya, dan menumbuhkan
pengaruhnya sedemikian rupa sehingga menjadi semacam “ negara dalam negara”.
Partai
Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat
dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan
dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat
dilihat dari kegiatan maupun program-programnya mengenai identitas Islam
dihadapan pluralisme politik. Selama massa bergejolak yang dialami Indonesia,
partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan
subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar negara
Islam didirikan di Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi dan PSI
yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan berdasarkan keputusan
Presiden No.7/1959.[10]
Pemilu
1955 adalah pemilihan umum pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka,
Masyumi merupakan suara terbanyak kedua setelah PNI. Masyumi sebagai partai
politik terbesar, tentunya mempunyai karakteristik yang tersendiri sebagai ciri
khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah
organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan
secar modern bagi umat Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai
Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia
sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada
waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsyat, sehingga umat
islam berada dalam satu pimpinan.
Pembubaran
Masyumi ini menjadi suatu masalah pertentangan yang getir dalam masa sesudah
Soekarno. Menurut sebuah pernyataan yang di keluarkan oleh Prawoto
Mangkusasmito, yang menggantikan Natsir sebagai ketua umum Masyumi di tahun
1958, partai Masyumi di bubarkan karena partai tersebut tidak cukup mengambil
jarak dengan para pemimpin yang terlibat dengan pemberontakan PRRI bulan
Februari 1958. Pada tanggal 28 Februari 1958 Perdana Menteri Djuanda menyatakan
dalam Parlemen bahwa para pemimpin yang
terlibat itu akan dihukum sebagai pribadi, dan bukannya partai politik mereka
sebagai partai itu
sendiri.[11]
Partai Masyumi, dipaksa membubarkan
diri karena dianggap oposisi dan menentang revolusi yang menurut Soekarno,
belum selesai. Soekarno juga menuduh bahwa Masyumi berada di belakang
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah sepertio Sumatera Barat,
Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan. Apalgi daerah-daerah yang memberontak tersebut
merupakan kantong-kantong Masyumi. Di tambah pula ada beberapa orang tokoh
Masyumi seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap, yang
ikut dalam pemberontakan (PRRI) tersebut, namun Masyumi tidak mengeluarkan
sikap atas keterlibatan tersebut. Mereka jauh sebelum pemberontakan sudah tidak
terlibat aktif di partai, mereka memberontak bukan atas nama partai, melainkan
atas nama pribadi. Pemberontakan mereka pun untuk tujuan supaya Soekarno
menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar dalam melaksanakan
pemerintahannya.[12]
Setelah situasi tahun 1960, bahwa
pengaruh Masyumi masih tetap besar di kalangan umat Islam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia) merupakan partai politik pertama di
Indonesia yang mempersatukan organisasi-organisasi Islam di Indonesia.
Masyumi yang didirikan pada tanggal 7
November 1945 di Yogyakarta dan dibubarkan pada tahun 1960 oleh Soekarno. Masyumi
dapat dikatakan merupakan partai politik yang bertujuan menyampaikan aspirasi
umat muslim saat itu. Masyumi yaitu terdiri dari beberapa tokoh seperti Hamka,
M.natsir, Agus Salim dan tokoh-tokoh Islam lainnya.
Masyumi mempunyai tujuan menciptakan
Indonesia yang bercorak Islam, tetapi juga ingin memberikan kebebasan penuh
kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan berjuang aspirasi politiknya
sesuai dengan agama dan ideologi masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Boland,B,J,
Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972 (Jakarta: PT.Temprint,1985)
Frederick,
H,William dan Soeri Soroto, Pemahaman
Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES,1991 cet
ketiga)
Ishak,Noor, Skripsi Pergerakan Partai Masyumi di
Indonesia 1945-1960( Jakarta :2008)
Iqbal, Muhammad, dan Amin, Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Jakarta:
Kencana,2013)
Romli,Lili , Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah
Perkembangan Partai-partai Islam di
Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar )
[1] Lili
Romli, Islam Yes Partai Islam Yes:
Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam
di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar) hal:35.
[3] Ibid.
[4] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah
Perkembangan Partai-partai Islam di
Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, ) hal:36.
[5] Noor Ishak, Skripsi Pergerakan Partai Masyumi di
Indonesia 1945-1960( Jakarta :2008) hlm,50.
[8] Ibid...,hal.87.
[10] William H.Frederick dan Soeri Soroto, Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES,1991 cet ketiga) hlm.384.
[12] Dr.Muhammad Iqbal.M.Ag dan
Drs.H.Amin Husein Nasution.M.A, Pemikiran Politik Islam (Jakarta:
Kencana,2013) hlm.286.
0 Komentar