BAB 1 : PENDAHULUAN
Tidak dapat di pungkiri bahwa umat Islam memegang peranan sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang di proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Perlawanan terhadap penjajahan Belanda di berbagai wilayah Nusantara dapat dikatakan sebagai perlawanan Islam terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang- wenangan. Ini juga berarti bahwa perlawanan tersebut merupakan upaya yang tidak kenal menyerah dalam rangka memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas, karena Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Karena itu, kita ketahui bahwa pada awal abad ke 20 kita menyaksikan berdirinya organisasi-organisasi Islam, baik yang bergerak di bidang politik maupun sosial keagamaan. Dari perkembangan organisasi-organisasi Islam tersebut, setidaknya ada dua fenomena yang terjadi pada dekade-dekade awal abad ke-20 tersebut.
Pertama, berdirinya organisasi tersebut di latar belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam dan memberi pendidikan politik bagi umat Islam supaya mereka mengerti dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini terlihat dari berdirinya organisasi SI dan lainnya. Kedua, ada juga organisasi yang berdiri dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengadakan pembaruan pemikiran keagamaan dalam Islam, seperti Muhammadiyah. Gerakan seperti ini akhirnya mendapat respons dari kalangan tradisi untuk mempertahankan pendirian mereka dengan mendirikan NU.
Namun demikian, kita juga melihat realitas masyarakat Indonesia lainnya yang netral terhadap agama ( Islam ) dan tidak menghendaki Islam memasuki wilayah-wilayah publik, meskipun sebagian besar mereka adalah juga penganut agama Islam. Terdapat juga pada awal abad ke 20 hingga masa akhir penjajahan Belanda, selain organisasi-organisasi Islam seperti yang telah disebutkan beberapa di atas, terdapat juga organisasi-organisasi lain yang netral agama. Polarisasi antara kalangan nasionalis netral agama dan nasionalis Muslim dapat terlihat umpamanya dengan adanya Budi Oetomo disamping Sarekat Islam, Taman siswa disamping Muhammadiyah dan NU. [1]
















BAB II : PEMBAHASAN
1.      Boedi Oetomo / Budi Utomo
Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh sekelompok pelajar Sekolah Kedokteran Hindia ( STOVIA ) di Jakarta di bawah pimpinan Sutomo. Yang menjadi sumber inspirasi para pelajar mendirikan BU adalah cita-cita Dr.Wahidin Soediro Husodo, untuk meningkatkan kedudukan dan martabat masyarakat Jawa melalui pendidikan. Ditinjau dari semangat dan suasana masanya, saat kelahiran BU merupakan hal yang istimewa. Kelahirannya merupakan pertanda dari awal kesadaran nasional rakyat yang selama ini terpendam, bersikap masa bodoh terhadap ketidak adilan yang menimpanya. Karenanya tepatlah lukisan Mr Van Deventer dalam majalah De Gids “ Suatu yang ajaib terjadi, Insulinde molek yang lagi tidur, sudah bangun “ Tujuan BU tersebut dalam waktu singkat mendapat dukungan luas di kalangan cendekiawan Jawa, sehingga menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta, 5 Oktober 1908, telah beranggota 1200 orang. Dari jumlah tersebut, 700 orang adalah para Priyayi Rendahan dan sejumlah kecil Priyayi tinggi, yaitu para bupati dan pejabat tinggi yang berpandangan maju, diantaranya R.M.A.A.Koesomo Oetojo ( Bupati Jepara ), R.A.A.Tirtokoesomo ( Bupati Karanganyar ) dan R.A.A.Koesoemojoedo ( Bupati Ponorogo ). Bupati yang dimaksud Priyayi Rendahan disini ialah, Pegawai Negeri seperti Juru Tulis, Komis, polisi ( Opas ), Camat, guru, dan para pejabat rendahan lainnya. Sedang jumlah selebihnya adalah para pelajar sekolah menengah, di antaranya adalah dari Sekolah Guru ( Normal School ) di Jogja, Sekolah Pamong Praja ( OSVIA ) di Magelang dan Probolinggo, serta Sekolah Menengah (Hogere Burger School) petang di Surabaya.[2]
Nama Budi Utomo, berasal dari acara Sutomo kepada seniornya Dr.Wahidin yang di katakan “ Menika Satunggaling padamelan sae sarta laku budi utami “. Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama di Indonesia.[3]
Tujuan Budi Utomo yaitu pendobrakan untuk mencoba memperbaiki kondisi pribumi yang menyedihkan. Hidup serba santai dan berleha-leha yang biasa dilakukan kebanyakan masyarakat adalah “ musuh “ yang akan mereka perangi seperti dinyatakan Soetomo dan Goenawan Mangoenkoesomo, kata budi dari bahasa Sanskerta “ budi “ ialah berarti keterbukaan jiwa, pikiran, utama yang dimaksud yaitu yang utama atau sangat baik. Kemudian, tujuannya adalah memberikan tujuan perhatian utama pada unsur pribumi dalam masyarakat Jawa dengan harapan kelak di kemudian hari yang melihat organisasi akan tumbuh jadi perhimpunan yang lebih Universal sehingga akan menciptakan persaudaraan Nasional tanpa pandang suku, kelamin atau kepercayaan. Tujuan lainnya yaitu Budi Utomo merupakan lembaga yang mengutamakan aspek kebudayaan dan pendidikan serta jarang memainkan peranan politik yang aktif.[4]

2.      Sarekat Islam
Embrio Sarekat Islam adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh R.M.Tirtoadisoerjo di Bogor tahun 1909, yang kemudian disusul oleh Haji Samanhanudi, seorang pengusaha batik di Solo, mendirikan SDI di Solo, mendirikan SDI di Solo awal tahun 1912.
Latar belakang lahirnya SDI adalah adanya persaingan antara orang Cina yang menguasai perdagangan perantara dan pengusaha batik pribumi di kota Solo khususnya. Hubungan renggang kedua kelompok pedagang tersebut kemudian memanas dipicu oleh keangkuhan pedagang Cina sebagai akibat keberhasilan Revolusi Nasional di Cina tahun 1911. Dalam anggaran dasarnya, tujuan SDI adalah persatuan, persaudaraan dan saling membantu antara saudara sebangsa yang beragama Islam, serta menjadikan negeri mereka besar. Atas saran H.Oemar Said Tjokrominoto, seorang pengusaha terkenal di Surabaya, nama organisasi tersebut pada akhir tahun 1912 diubah Sarekat Islam ( SI ).
Tjokroaminoto adalah ketua cabang SI di Surabaya. Ia seorang orator dan organisator yang cakap serta mampu menegososiakan kepentingan SI dengan pemerintah. Di tangannyalah SI dapat diubah menjadi satu kekuatan rakyat yang paling ditakuti pemerintah kolonial.[5] Karenanya SI cepat populer di kalangan rakyat di bawah. Dengan cepat anggota SI meluas di Jawa, bukan hanya di kota, melainkan juga masuk sampai ke pelosok desa- desa. Dalam waktu kurang dari satu tahun SI sudah tumbuh menjadi organisasi raksasa terdiri atas 81 cabang, di antaranya cabang Jakarta, Cirebon, Semarang, Jogjakarta, Solo dan Surabaya, yang anggotanya SI telah mencapai 444.251 orang. Perkembangan SI yang cepat ini, menimbulkan reaksi yang cepat pula dari pihak pemerintah dan masyarakat Belanda di Indonesia. Gubernur Jenderal Idenburg ( 1909-1916 ) bersikap hati-hati dalam menanggapi SI sedang masyarakat Belanda yang ketakutan telah mencemaskan, Belanda akan kehilangan  jajahannya. Pada tahun 1915, usaha Tjokrominoto untuk mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum, belum di tanggapi pemerintah, meskipun saat itu SI menyatakan kesetiaannya pada pemerintah dan belum bergerak di bidang politik. Baru pada tahun 1916 Gubernur Jenderal Idenburg mengeluarkan pengakuan pada Central Serikat Islam ( CSI ), terpisah dari SI, SI lokal yang sebelumnya masing-masing telah memperoleh pengakuan secara terpisah. Dengan cara demikian SI yang beranggotakan massa besar bisa dicegah menjadi satu kekuatan yang membahayakan pemerintah kolonial.[6]
Tujuan oraganisasi SDI, tidak lain untuk membantu orang Islam serta rakyat di desa-desa guna mencapai kesatuan pendapat, agar mereka dapat bergaul dalam persaudaraan dengan saudara yang beragama Islam. Islam Raya dan Indonesia Raya. Andil utama, menjadikan nilai-nilai spiritualisme Agama, memberi kekuatan inspirasi membangun sikap mandiri bagi bangsa Indonesia dan organisasi ini yaitu yang memperjuangkan sumber daya manusia Indonesia.

3.      Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Jogjakarta oleh Kyai H.Ahmad Dahlan(....). Dalam dakwahnya, Ahmad Dahlan mengajak umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, yaitu atas dasar Alquran dan Hadist nabi semata.
Di kampung Kauman, Jogjakarta, basis pertama Muhammadiyah, mula-mula ajarannya mendapat tentangan keras dari Umat Islam tradisional. Namun melalui metoda musyawarah dan persuasif, gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan tersebut lambat laun memperoleh dukungan dari Umat Islam, yang menyadari perlunya modernisasi dalam mengamalkan Islam.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian bukan saja bergerak di bidang dakwah agama semata, melainkan juga bergerak di bidang pendidikan, mendirikan sekolah, dan kemanusiaan seperti mendirikan rumah sakit dan sebagainya. Sebagai upaya menyebarkan ajaran agama Islam yang murni maupun ide pembaharuan yang lain, secara umum kegiatan utama Muhammadiyah dapat dibedakan dalam empat hal, pertama  yaitu menyelenggarakan sekolah sendiri, setingkat sekolah angka 2 atau Volkschool ( Sekolah Rakyat ) yang di tetapkan pemerintah, yang mengajarkan ilmu umum seperti halnya sekolah lain, di tambah dengan ilmu agama Islam. Kedua, mengajarkan ajaran agama Islam, melalui kursus gratis, dan propaganda, serta melalui berbagai pertemuan informal, antara lain seperti pertemuan kelompok-kelompok pengajian yang telah ada sebelumnya. Ketiga, sebagai media pertemuan, Muhammadiyah mwmbantu mendirikan, memelihara mesjid dan penyelenggaraan tempat berkumpul yang lain. Salah satu contoh usaha ini adalah Muhammadiyah mendirikan surau khusus untuk wanita. Keempat, melakukan penyebaran ajaran agama Islam melalui tulisan, dalam bentuk pamflet dan buku yang meliputi masalah fikih, akaid, tajwid, hadis, terjemahan ayat-ayat Al-quran, mrngrnsi akhlak dan hukum, serta sejarah para nabi dan Sahabat.
Salah satu ide pembaharuan Muhammadiyah adalah peranan wanita Islam di dalam masyarakat muslim.
4.      Nahdlatul Ulama (NU)
NU yang mengandung arti kebangkitan para Ulama, terbentuk pada tahun 1926, secara tidak langsung, sebagai reaksi atas gerakan Muhammadiyah yang akan memurnikan ajaran Islam atas dasar Al-Quran dan Hadist Nabi semata.
Kesetiaan NU terhadap tradisi ditegaskan oleh NU dengan  menyatakan dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Wal jamaah yang berarti penganut tradisi ( kebiasaan ) Nabi Muhammad, menurut para Ulama NU, untuk memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Al-Quran dan Hadist, tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama mazhab, hadist dan akhirnya sumber utama Al-Quran itu sendiri. Dalam pendidikan di madrasah NU, dirumuskan :
a.       Al-Quran al karim
b.      Sunnah rasul
c.       Sunnah Khulafaurrasyidin
Para tokoh pendiri NU seperti Kyai H,Hasyim Asy’ari,Kyai H.Wahab Chasbullah dan Kyai H.Bisri sansuri, bersama tokoh Muhammadiyah K.H.Ahmad Dahlan, keempatnya adalah alumni Mekkah yang berguru pada ulama Indonesia Terkenal. Para tokoh NU sebenarnya juga menyambut baik gerakan pembaharuan, tetapi pembaharuan perlu menyesuaikan dengan tradisi yang mereka anut. Tradisi NU juga ditandai oleh panji-panji NU yang bergambar 9 bintang sebagai simbol penghormatan terhadap Walisongo, perintis penyebar Islam di Jawa, yang dalam berdakwah para ahli tersebut melestarikan sejumlah tradisi pra Islam sebagai sarana penarik. Atas dasar doktrin tersebut dapat dipahami bila dikatakan, bahwa kelahiran NU hakekatnyaa merupakan reaksi terhadap gerakan Muhammadiyah yang hendak memurnikan ajaran Islam dari tradisi lama.[7]
Di masa pendudukan Jepang, Muhammadiyah dan NU pernah bersatu dalam wadah Majelis Syuro Muslimin Indonesia ( Masyumi ). Pada awal kemerdekaan, Masyumi menjadi partai politik di bawah pimpinan dr.Sukiman. Dalam organisasi Masyumi, para tokoh NU mendapat porsi menduduki Majelis Syuro, sedang pada badan eksekutif diduduki oleh orang intelektual. NU yang merasa tidak diberi peran dalam segi politik akhirnya keluar dari Masyumi, dan sejak itu NU kemudian menjelma senagai partai Politik.
Sebagai partai politik, NU berhasil unggul dalam pemilihan Umum tahun 1955, sebagai partai “ empat besar “ yaitu PNI, Masyumi, PKI,NU serta memperoleh 18,4 % ( 45 kursi di DPR ). Di masa Orde Baru, bersama sejumlah partai Islam lainnya NU dilebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP ).

5.      Persatuan Islam ( PERSIS )
Didirikan pada tahun 1923 di kota Bandung. Pendirinya adalah Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus, dua orang pedagang asal Palembang yang cukup sukses di kota kembang tersebut. Dua orang ini kerap berdiskusi tentang banyak hal dalam forum semacam kenduri keluarga, misalnya tentang gagasan pembaruan Islam yang dibicarakan di Majalah Al Munir Padang atau Al Manar Kairo ( Mesir ), pertikaian antara Al Jami’at dengan Al Irsyad, soal penetrasi ideologi Komunisme dalam tubuh SI, dan lain sebagainya.
Perkembangan dan kemajuan persis banyak disokong oleh dua tokoh, yakni Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir. Ahmad Hassan ( kelahiran Singarupa 1887 ) adalah guru Persis yang utama pada masa sebelum Perang Dunia II ( 1939-1945 ). Sedangkan Mohammad Natsir ( lahir di Alahan Panjang Sumatera Barat 1908 ) dikenal sebagai juru bicara Persis untuk kalangan terpelajar.
Tampaknya, Persis mengambil cara atau metode yang berbeda dalam menyebarluaskan gagasan pembaruan Islam dibandingkan dengan Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Apabila Muhammadiyah dan Al-Irsyad cenderung moderat, maka persis bergerak secara radikal dalam upaya mengembalikan pemurnian pengamalan ajaran Islam. Melalui pertemuan umum, taligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren, menerbitkan pamflet-pamflet majalah-majalah dan kitab-kitab.
Persis tidak segan-segan melakukan kritik terhadap pengamalan ajaran agama yang dipandang baur dengan takhayul dan khurafat. Sebagai contoh: ucapan ushalli sebelum takbir shalat, talkin, tradisi taqbil ( cium tangan ), dan sebagainya. Majalah Pembela Aceh yang diterbitkan oleh persis di Bandung sejak tahun 1929 sering memuat masalah-masalah khilafiyah yang dianggap bid’ah. Demikian pula, dengan penerbitan-penerbitan lainnya seperti Majalah Al Fatwa dan Al Lisan.
Sikap radikal Persis tidak hanya berkenaan dengan soal-soal yang dianggap sebagai bid’ah, takhayul dan khurafat ( TBKh ), tetapi juga soal nasionalisme. Persis memandang nasionalisme yang didasarkan pada ideologi Barat sebagai persoalan ashabiyah yang bertentangan dengan agama Islam, kendatipun Islam mengakui kecenderungan ashabiyah itu sebagai hal yang bersifat ( kodrat ). Sikap radikal yang ditunjukkan oleh persis tersebut memancing para ulama yang masih mempertahankan tradisi dan mazhab untuk mengorganisasikan diri dalam Nahdlatul Ulama.[8]
6.      Jami’atul Khairat
Organisasi ini berdiri pada tahun 1901, dengan tokoh pendirinya yaitu Habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar Sayyid Muhammad Al Fakir ibn Abn,  Al Rahman Al Mansyur. Idrus bin Ahmad Shahab dan lainnya. Organisasi yaitu organisasi Arab yaitu anggotanya orang-orang Arab dan para sayyid. Organisasi yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta, awalnya berpusat pada pendidikan namun kemudian meluas dengan dakwah, tujuan lainnya yaitu mengembangkan pendidikan Agama Islam dan bahasa Arab.

7.      Taman Siswa
Taman Siswa adalah sekolah swasta pertama dan terbesar dalam masa kolonial. Taman Siswa menganut semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri Handayani. Tut wuri Handayani berarti bahwa seorang guru disamping harus dapat membangkitkan pikiran siswa juga harus dapat memberi teladan atau contoh yang baik terhadap siswa.[9]
Pada tahun 1922 lahirlah perguruan Taman Siswa yang dipimpin oleh Suwardi Suryaningrat, seorang kerabat Istana Pakualam. Ia adalah salah seorang dari “ Tiga serangkai “ bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusomo yang memainkan peranan penting dalam perkara Comite Bomie Poetera pada tahun 1913. Oleh karena itu, ia menuliskan karangan “als ik een Nederlands was “. Sebuah karangan yang mengkritik secara tajam pemerintah kolonial. tulisannya merupakan awal dari pemikiran politik Indonesia yang berwawasan nasional.
Berbeda dengan Budi Utomo, Taman Siswa yang lahir empat belas tahun kemudian merupakan organisasi yang bertujuan mengembangkan edukasi dan kultural, yang direalisasikan dengan baik. Artinya, Taman Siswa tidak berhenti pada ide saja tetapi betul-betul melaksanakan ide tersebut. Berdirinya sekolah-sekolah di lingkungan  Taman Siswa adalah bukti dari edukasi nasional dan pengembangan kebudayaan nasional adalah kreasi Taman Siswa. Keduanya merupakan senjata ampuh dalam menghadapi dominasi kolonial.
Satu hal yang menarik dari Taman Siswa adalah pelaksanaannya demokrasi dan kepemimpinan. Artinya organisasi ini mengutamakan kepentingan rakyat yang sudah merupakan jiwa dari pemimpin yang selalu “ manunggal “ dengan rakyat. Pemimpin seperti ini merupakan kunci keberhasilan dalam pergerakan. Pergerakan rakyat tidak boleh dibiarkan hingga salah arah atau menimbulkan bencana pada masyarakat Indonesia.
Taman Siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional  merupakan alat untuk membuat persemaian golongan nasionalis. Melalui pendidikan yang berjenjang di lingkungan di Taman Siswa itu dihasilkan elite kultural yang akan berperanan besar dalam pergerakan nasional. Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah swasta, bukan saja dikelola oleh Taman Siswa, tetapi juga banyak yang dikelola oleh organisasi lain, persemaian golongan nasionalis semakin meluas keadaan seperti ini yang di khawatirkan oleh pemerintah karena dengan di biarkannya sekolah swasta berarti memberi peluang kepada perluasan nasionalisme Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme dari Indonesia. [10]











BAB III
a.         KESIMPULAN
            Adanya organisasi yang lahir pada masa penjajahan yaitu salah satu bentuk model perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Beberapa model perlawanan telah di lakukan oleh umat Islam Indonesia, dari peperangan terang-terangan, gerilya namun setelah itu Umat Islam Indonesia mengubah cara perlawanan nya yang dikenal dengan cara intelektual dan mendirikan pergerakan- pergerakan berupa organisasi.
            Organisasi yang muncul yaitu berbeda- beda kategori yang di jalankan, ada yang fokus dalam keagamaan, ekonomi, pendidikan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan kolonialisme.
b.      SARAN

Kami hanya manusia biasa yang tidak mempunyai dan tidak berhak memiliki kesempurnaan.Dalam makalah ini tentu memiliki banyak kekurangan, wajar saja kami sedang belajar. Dan kami berharap kepada dosen pembimbing, teman seperjuangan , dan juga kepada para pembaca lainnya untuk memberikan saran kepada kami. Agar menjadikan makalah ini untuk lebih baik.










DAFTAR PUSTAKA
Firdaus Syam, Membangun Peradaban Indonesia.
Muhammad Iqbal,M.Ag dan Drs.H.Amin Husein Nasution,MA,Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Moehkardi, Revolusi Nasional 1945 di Semarang, Jogjakarta : Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2012.
Suwarno, M.Si., Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Suhadi,Machi , Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.








[1] Dr. Muhammad Iqbal,M.Ag dan Drs.H.Amin Husein Nasution,MA,Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2010,hlm.272.
[2] Drs.Moehkardi, Revolusi Nasional 1945 di Semarang, Jogjakarta : Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2012 , hlm. 8.
[3] Firdaus Syam, Membangun Peradaban Indonesia, hlm.51.
[4] Ibid,,,.hal.53.
[5] Drs.Moehkardi,,,.hal.15.
[6] Ibid,...hal. 15.
[7] Drs.Moehkardi,...hlm.43.
[8] Drs.Suwarno, M.Si., Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadar




 BAB 1 : PENDAHULUAN
Tidak dapat di pungkiri bahwa umat Islam memegang peranan sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang di proklamasikan pada 17 Agustus 1945.  Perlawanan terhadap penjajahan Belanda di berbagai wilayah Nusantara dapat dikatakan sebagai perlawanan Islam terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang- wenangan. Ini juga berarti bahwa perlawanan tersebut merupakan upaya yang tidak kenal menyerah dalam rangka memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas, karena Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Karena itu, kita ketahui bahwa pada awal abad ke 20 kita menyaksikan berdirinya organisasi-organisasi Islam, baik yang bergerak di bidang politik maupun sosial keagamaan. Dari perkembangan organisasi-organisasi Islam tersebut, setidaknya ada dua fenomena yang terjadi pada dekade-dekade awal abad ke-20 tersebut.
Pertama, berdirinya organisasi tersebut di latar belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam dan memberi pendidikan politik bagi umat Islam supaya mereka mengerti dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini terlihat dari berdirinya organisasi SI dan lainnya. Kedua, ada juga organisasi yang berdiri dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengadakan pembaruan pemikiran keagamaan dalam Islam, seperti Muhammadiyah. Gerakan seperti ini akhirnya mendapat respons dari kalangan tradisi untuk mempertahankan pendirian mereka dengan mendirikan NU.
Namun demikian, kita juga melihat realitas masyarakat Indonesia lainnya yang netral terhadap agama ( Islam ) dan tidak menghendaki Islam memasuki wilayah-wilayah publik, meskipun sebagian besar mereka adalah juga penganut agama Islam. Terdapat juga pada awal abad ke 20 hingga masa akhir penjajahan Belanda, selain organisasi-organisasi Islam seperti yang telah disebutkan beberapa di atas, terdapat juga organisasi-organisasi lain yang netral agama. Polarisasi antara kalangan nasionalis netral agama dan nasionalis Muslim dapat terlihat umpamanya dengan adanya Budi Oetomo disamping Sarekat Islam, Taman siswa disamping Muhammadiyah dan NU. [1]




BAB II : PEMBAHASAN
1.      Boedi Oetomo / Budi Utomo
Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh sekelompok pelajar Sekolah Kedokteran Hindia ( STOVIA ) di Jakarta di bawah pimpinan Sutomo. Yang menjadi sumber inspirasi para pelajar mendirikan BU adalah cita-cita Dr.Wahidin Soediro Husodo, untuk meningkatkan kedudukan dan martabat masyarakat Jawa melalui pendidikan. Ditinjau dari semangat dan suasana masanya, saat kelahiran BU merupakan hal yang istimewa. Kelahirannya merupakan pertanda dari awal kesadaran nasional rakyat yang selama ini terpendam, bersikap masa bodoh terhadap ketidak adilan yang menimpanya. Karenanya tepatlah lukisan Mr Van Deventer dalam majalah De Gids “ Suatu yang ajaib terjadi, Insulinde molek yang lagi tidur, sudah bangun “ Tujuan BU tersebut dalam waktu singkat mendapat dukungan luas di kalangan cendekiawan Jawa, sehingga menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta, 5 Oktober 1908, telah beranggota 1200 orang. Dari jumlah tersebut, 700 orang adalah para Priyayi Rendahan dan sejumlah kecil Priyayi tinggi, yaitu para bupati dan pejabat tinggi yang berpandangan maju, diantaranya R.M.A.A.Koesomo Oetojo ( Bupati Jepara ), R.A.A.Tirtokoesomo ( Bupati Karanganyar ) dan R.A.A.Koesoemojoedo ( Bupati Ponorogo ). Bupati yang dimaksud Priyayi Rendahan disini ialah, Pegawai Negeri seperti Juru Tulis, Komis, polisi ( Opas ), Camat, guru, dan para pejabat rendahan lainnya. Sedang jumlah selebihnya adalah para pelajar sekolah menengah, di antaranya adalah dari Sekolah Guru ( Normal School ) di Jogja, Sekolah Pamong Praja ( OSVIA ) di Magelang dan Probolinggo, serta Sekolah Menengah (Hogere Burger School) petang di Surabaya.[2]
Nama Budi Utomo, berasal dari acara Sutomo kepada seniornya Dr.Wahidin yang di katakan “ Menika Satunggaling padamelan sae sarta laku budi utami “. Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama di Indonesia.[3]
Tujuan Budi Utomo yaitu pendobrakan untuk mencoba memperbaiki kondisi pribumi yang menyedihkan. Hidup serba santai dan berleha-leha yang biasa dilakukan kebanyakan masyarakat adalah “ musuh “ yang akan mereka perangi seperti dinyatakan Soetomo dan Goenawan Mangoenkoesomo, kata budi dari bahasa Sanskerta “ budi “ ialah berarti keterbukaan jiwa, pikiran, utama yang dimaksud yaitu yang utama atau sangat baik. Kemudian, tujuannya adalah memberikan tujuan perhatian utama pada unsur pribumi dalam masyarakat Jawa dengan harapan kelak di kemudian hari yang melihat organisasi akan tumbuh jadi perhimpunan yang lebih Universal sehingga akan menciptakan persaudaraan Nasional tanpa pandang suku, kelamin atau kepercayaan. Tujuan lainnya yaitu Budi Utomo merupakan lembaga yang mengutamakan aspek kebudayaan dan pendidikan serta jarang memainkan peranan politik yang aktif.[4]

2.      Sarekat Islam
Embrio Sarekat Islam adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh R.M.Tirtoadisoerjo di Bogor tahun 1909, yang kemudian disusul oleh Haji Samanhanudi, seorang pengusaha batik di Solo, mendirikan SDI di Solo, mendirikan SDI di Solo awal tahun 1912.
Latar belakang lahirnya SDI adalah adanya persaingan antara orang Cina yang menguasai perdagangan perantara dan pengusaha batik pribumi di kota Solo khususnya. Hubungan renggang kedua kelompok pedagang tersebut kemudian memanas dipicu oleh keangkuhan pedagang Cina sebagai akibat keberhasilan Revolusi Nasional di Cina tahun 1911. Dalam anggaran dasarnya, tujuan SDI adalah persatuan, persaudaraan dan saling membantu antara saudara sebangsa yang beragama Islam, serta menjadikan negeri mereka besar. Atas saran H.Oemar Said Tjokrominoto, seorang pengusaha terkenal di Surabaya, nama organisasi tersebut pada akhir tahun 1912 diubah Sarekat Islam ( SI ).
Tjokroaminoto adalah ketua cabang SI di Surabaya. Ia seorang orator dan organisator yang cakap serta mampu menegososiakan kepentingan SI dengan pemerintah. Di tangannyalah SI dapat diubah menjadi satu kekuatan rakyat yang paling ditakuti pemerintah kolonial.[5] Karenanya SI cepat populer di kalangan rakyat di bawah. Dengan cepat anggota SI meluas di Jawa, bukan hanya di kota, melainkan juga masuk sampai ke pelosok desa- desa. Dalam waktu kurang dari satu tahun SI sudah tumbuh menjadi organisasi raksasa terdiri atas 81 cabang, di antaranya cabang Jakarta, Cirebon, Semarang, Jogjakarta, Solo dan Surabaya, yang anggotanya SI telah mencapai 444.251 orang. Perkembangan SI yang cepat ini, menimbulkan reaksi yang cepat pula dari pihak pemerintah dan masyarakat Belanda di Indonesia. Gubernur Jenderal Idenburg ( 1909-1916 ) bersikap hati-hati dalam menanggapi SI sedang masyarakat Belanda yang ketakutan telah mencemaskan, Belanda akan kehilangan  jajahannya. Pada tahun 1915, usaha Tjokrominoto untuk mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum, belum di tanggapi pemerintah, meskipun saat itu SI menyatakan kesetiaannya pada pemerintah dan belum bergerak di bidang politik. Baru pada tahun 1916 Gubernur Jenderal Idenburg mengeluarkan pengakuan pada Central Serikat Islam ( CSI ), terpisah dari SI, SI lokal yang sebelumnya masing-masing telah memperoleh pengakuan secara terpisah. Dengan cara demikian SI yang beranggotakan massa besar bisa dicegah menjadi satu kekuatan yang membahayakan pemerintah kolonial.[6]
Tujuan oraganisasi SDI, tidak lain untuk membantu orang Islam serta rakyat di desa-desa guna mencapai kesatuan pendapat, agar mereka dapat bergaul dalam persaudaraan dengan saudara yang beragama Islam. Islam Raya dan Indonesia Raya. Andil utama, menjadikan nilai-nilai spiritualisme Agama, memberi kekuatan inspirasi membangun sikap mandiri bagi bangsa Indonesia dan organisasi ini yaitu yang memperjuangkan sumber daya manusia Indonesia.

3.      Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Jogjakarta oleh Kyai H.Ahmad Dahlan(....). Dalam dakwahnya, Ahmad Dahlan mengajak umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, yaitu atas dasar Alquran dan Hadist nabi semata.
Di kampung Kauman, Jogjakarta, basis pertama Muhammadiyah, mula-mula ajarannya mendapat tentangan keras dari Umat Islam tradisional. Namun melalui metoda musyawarah dan persuasif, gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan tersebut lambat laun memperoleh dukungan dari Umat Islam, yang menyadari perlunya modernisasi dalam mengamalkan Islam.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian bukan saja bergerak di bidang dakwah agama semata, melainkan juga bergerak di bidang pendidikan, mendirikan sekolah, dan kemanusiaan seperti mendirikan rumah sakit dan sebagainya. Sebagai upaya menyebarkan ajaran agama Islam yang murni maupun ide pembaharuan yang lain, secara umum kegiatan utama Muhammadiyah dapat dibedakan dalam empat hal, pertama  yaitu menyelenggarakan sekolah sendiri, setingkat sekolah angka 2 atau Volkschool ( Sekolah Rakyat ) yang di tetapkan pemerintah, yang mengajarkan ilmu umum seperti halnya sekolah lain, di tambah dengan ilmu agama Islam. Kedua, mengajarkan ajaran agama Islam, melalui kursus gratis, dan propaganda, serta melalui berbagai pertemuan informal, antara lain seperti pertemuan kelompok-kelompok pengajian yang telah ada sebelumnya. Ketiga, sebagai media pertemuan, Muhammadiyah mwmbantu mendirikan, memelihara mesjid dan penyelenggaraan tempat berkumpul yang lain. Salah satu contoh usaha ini adalah Muhammadiyah mendirikan surau khusus untuk wanita. Keempat, melakukan penyebaran ajaran agama Islam melalui tulisan, dalam bentuk pamflet dan buku yang meliputi masalah fikih, akaid, tajwid, hadis, terjemahan ayat-ayat Al-quran, mrngrnsi akhlak dan hukum, serta sejarah para nabi dan Sahabat.
Salah satu ide pembaharuan Muhammadiyah adalah peranan wanita Islam di dalam masyarakat muslim.
4.      Nahdlatul Ulama (NU)
NU yang mengandung arti kebangkitan para Ulama, terbentuk pada tahun 1926, secara tidak langsung, sebagai reaksi atas gerakan Muhammadiyah yang akan memurnikan ajaran Islam atas dasar Al-Quran dan Hadist Nabi semata.
Kesetiaan NU terhadap tradisi ditegaskan oleh NU dengan  menyatakan dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Wal jamaah yang berarti penganut tradisi ( kebiasaan ) Nabi Muhammad, menurut para Ulama NU, untuk memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Al-Quran dan Hadist, tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama mazhab, hadist dan akhirnya sumber utama Al-Quran itu sendiri. Dalam pendidikan di madrasah NU, dirumuskan :
a.       Al-Quran al karim
b.      Sunnah rasul
c.       Sunnah Khulafaurrasyidin
Para tokoh pendiri NU seperti Kyai H,Hasyim Asy’ari,Kyai H.Wahab Chasbullah dan Kyai H.Bisri sansuri, bersama tokoh Muhammadiyah K.H.Ahmad Dahlan, keempatnya adalah alumni Mekkah yang berguru pada ulama Indonesia Terkenal. Para tokoh NU sebenarnya juga menyambut baik gerakan pembaharuan, tetapi pembaharuan perlu menyesuaikan dengan tradisi yang mereka anut. Tradisi NU juga ditandai oleh panji-panji NU yang bergambar 9 bintang sebagai simbol penghormatan terhadap Walisongo, perintis penyebar Islam di Jawa, yang dalam berdakwah para ahli tersebut melestarikan sejumlah tradisi pra Islam sebagai sarana penarik. Atas dasar doktrin tersebut dapat dipahami bila dikatakan, bahwa kelahiran NU hakekatnyaa merupakan reaksi terhadap gerakan Muhammadiyah yang hendak memurnikan ajaran Islam dari tradisi lama.[7]
Di masa pendudukan Jepang, Muhammadiyah dan NU pernah bersatu dalam wadah Majelis Syuro Muslimin Indonesia ( Masyumi ). Pada awal kemerdekaan, Masyumi menjadi partai politik di bawah pimpinan dr.Sukiman. Dalam organisasi Masyumi, para tokoh NU mendapat porsi menduduki Majelis Syuro, sedang pada badan eksekutif diduduki oleh orang intelektual. NU yang merasa tidak diberi peran dalam segi politik akhirnya keluar dari Masyumi, dan sejak itu NU kemudian menjelma senagai partai Politik.
Sebagai partai politik, NU berhasil unggul dalam pemilihan Umum tahun 1955, sebagai partai “ empat besar “ yaitu PNI, Masyumi, PKI,NU serta memperoleh 18,4 % ( 45 kursi di DPR ). Di masa Orde Baru, bersama sejumlah partai Islam lainnya NU dilebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP ).

5.      Persatuan Islam ( PERSIS )
Didirikan pada tahun 1923 di kota Bandung. Pendirinya adalah Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus, dua orang pedagang asal Palembang yang cukup sukses di kota kembang tersebut. Dua orang ini kerap berdiskusi tentang banyak hal dalam forum semacam kenduri keluarga, misalnya tentang gagasan pembaruan Islam yang dibicarakan di Majalah Al Munir Padang atau Al Manar Kairo ( Mesir ), pertikaian antara Al Jami’at dengan Al Irsyad, soal penetrasi ideologi Komunisme dalam tubuh SI, dan lain sebagainya.
Perkembangan dan kemajuan persis banyak disokong oleh dua tokoh, yakni Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir. Ahmad Hassan ( kelahiran Singarupa 1887 ) adalah guru Persis yang utama pada masa sebelum Perang Dunia II ( 1939-1945 ). Sedangkan Mohammad Natsir ( lahir di Alahan Panjang Sumatera Barat 1908 ) dikenal sebagai juru bicara Persis untuk kalangan terpelajar.
Tampaknya, Persis mengambil cara atau metode yang berbeda dalam menyebarluaskan gagasan pembaruan Islam dibandingkan dengan Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Apabila Muhammadiyah dan Al-Irsyad cenderung moderat, maka persis bergerak secara radikal dalam upaya mengembalikan pemurnian pengamalan ajaran Islam. Melalui pertemuan umum, taligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren, menerbitkan pamflet-pamflet majalah-majalah dan kitab-kitab.
Persis tidak segan-segan melakukan kritik terhadap pengamalan ajaran agama yang dipandang baur dengan takhayul dan khurafat. Sebagai contoh: ucapan ushalli sebelum takbir shalat, talkin, tradisi taqbil ( cium tangan ), dan sebagainya. Majalah Pembela Aceh yang diterbitkan oleh persis di Bandung sejak tahun 1929 sering memuat masalah-masalah khilafiyah yang dianggap bid’ah. Demikian pula, dengan penerbitan-penerbitan lainnya seperti Majalah Al Fatwa dan Al Lisan.
Sikap radikal Persis tidak hanya berkenaan dengan soal-soal yang dianggap sebagai bid’ah, takhayul dan khurafat ( TBKh ), tetapi juga soal nasionalisme. Persis memandang nasionalisme yang didasarkan pada ideologi Barat sebagai persoalan ashabiyah yang bertentangan dengan agama Islam, kendatipun Islam mengakui kecenderungan ashabiyah itu sebagai hal yang bersifat ( kodrat ). Sikap radikal yang ditunjukkan oleh persis tersebut memancing para ulama yang masih mempertahankan tradisi dan mazhab untuk mengorganisasikan diri dalam Nahdlatul Ulama.[8]
6.      Jami’atul Khairat
Organisasi ini berdiri pada tahun 1901, dengan tokoh pendirinya yaitu Habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar Sayyid Muhammad Al Fakir ibn Abn,  Al Rahman Al Mansyur. Idrus bin Ahmad Shahab dan lainnya. Organisasi yaitu organisasi Arab yaitu anggotanya orang-orang Arab dan para sayyid. Organisasi yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta, awalnya berpusat pada pendidikan namun kemudian meluas dengan dakwah, tujuan lainnya yaitu mengembangkan pendidikan Agama Islam dan bahasa Arab.

7.      Taman Siswa
Taman Siswa adalah sekolah swasta pertama dan terbesar dalam masa kolonial. Taman Siswa menganut semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri Handayani. Tut wuri Handayani berarti bahwa seorang guru disamping harus dapat membangkitkan pikiran siswa juga harus dapat memberi teladan atau contoh yang baik terhadap siswa.[9]
Pada tahun 1922 lahirlah perguruan Taman Siswa yang dipimpin oleh Suwardi Suryaningrat, seorang kerabat Istana Pakualam. Ia adalah salah seorang dari “ Tiga serangkai “ bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusomo yang memainkan peranan penting dalam perkara Comite Bomie Poetera pada tahun 1913. Oleh karena itu, ia menuliskan karangan “als ik een Nederlands was “. Sebuah karangan yang mengkritik secara tajam pemerintah kolonial. tulisannya merupakan awal dari pemikiran politik Indonesia yang berwawasan nasional.
Berbeda dengan Budi Utomo, Taman Siswa yang lahir empat belas tahun kemudian merupakan organisasi yang bertujuan mengembangkan edukasi dan kultural, yang direalisasikan dengan baik. Artinya, Taman Siswa tidak berhenti pada ide saja tetapi betul-betul melaksanakan ide tersebut. Berdirinya sekolah-sekolah di lingkungan  Taman Siswa adalah bukti dari edukasi nasional dan pengembangan kebudayaan nasional adalah kreasi Taman Siswa. Keduanya merupakan senjata ampuh dalam menghadapi dominasi kolonial.
Satu hal yang menarik dari Taman Siswa adalah pelaksanaannya demokrasi dan kepemimpinan. Artinya organisasi ini mengutamakan kepentingan rakyat yang sudah merupakan jiwa dari pemimpin yang selalu “ manunggal “ dengan rakyat. Pemimpin seperti ini merupakan kunci keberhasilan dalam pergerakan. Pergerakan rakyat tidak boleh dibiarkan hingga salah arah atau menimbulkan bencana pada masyarakat Indonesia.
Taman Siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional  merupakan alat untuk membuat persemaian golongan nasionalis. Melalui pendidikan yang berjenjang di lingkungan di Taman Siswa itu dihasilkan elite kultural yang akan berperanan besar dalam pergerakan nasional. Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah swasta, bukan saja dikelola oleh Taman Siswa, tetapi juga banyak yang dikelola oleh organisasi lain, persemaian golongan nasionalis semakin meluas keadaan seperti ini yang di khawatirkan oleh pemerintah karena dengan di biarkannya sekolah swasta berarti memberi peluang kepada perluasan nasionalisme Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme dari Indonesia. [10]











BAB III
a.         KESIMPULAN
            Adanya organisasi yang lahir pada masa penjajahan yaitu salah satu bentuk model perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Beberapa model perlawanan telah di lakukan oleh umat Islam Indonesia, dari peperangan terang-terangan, gerilya namun setelah itu Umat Islam Indonesia mengubah cara perlawanan nya yang dikenal dengan cara intelektual dan mendirikan pergerakan- pergerakan berupa organisasi.
            Organisasi yang muncul yaitu berbeda- beda kategori yang di jalankan, ada yang fokus dalam keagamaan, ekonomi, pendidikan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan kolonialisme.
b.      SARAN

Kami hanya manusia biasa yang tidak mempunyai dan tidak berhak memiliki kesempurnaan.Dalam makalah ini tentu memiliki banyak kekurangan, wajar saja kami sedang belajar. Dan kami berharap kepada dosen pembimbing, teman seperjuangan , dan juga kepada para pembaca lainnya untuk memberikan saran kepada kami. Agar menjadikan makalah ini untuk lebih baik.










DAFTAR PUSTAKA
Firdaus Syam, Membangun Peradaban Indonesia.
Muhammad Iqbal,M.Ag dan Drs.H.Amin Husein Nasution,MA,Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Moehkardi, Revolusi Nasional 1945 di Semarang, Jogjakarta : Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2012.
Suwarno, M.Si., Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Suhadi,Machi , Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.







[1] Dr. Muhammad Iqbal,M.Ag dan Drs.H.Amin Husein Nasution,MA,Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2010,hlm.272.
[2] Drs.Moehkardi, Revolusi Nasional 1945 di Semarang, Jogjakarta : Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2012 , hlm. 8.
[3] Firdaus Syam, Membangun Peradaban Indonesia, hlm.51.
[4] Ibid,,,.hal.53.
[5] Drs.Moehkardi,,,.hal.15.
[6] Ibid,...hal. 15.
[7] Drs.Moehkardi,...hlm.43.
[8] Drs.Suwarno, M.Si., Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011,hlm.85.


























[9] Machi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 47.
[10] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hal. 66.









[9] Machi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 47.
[10] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hal. 66.





Posting Komentar

0 Komentar