ILMU NASIKH WALMANSUKH
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa digunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Menurut istilah nasikh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Nasikh diperlukan syarat-syarat berikut:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum yang syara’.
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat dengan waktu tertentu.
Nasakh terjadi karena terdapat dua nash yang saling bertentangan. Nasakh hukum tidak terjadi jika nash yang mengandung hukum itu tidak bertentangan dengan nash yang lain. Kedua nash itu muncul secara tidak bersamaan, maka nash yang munculnya lebih awal digantikan hukumnya oleh nash yang muncul kemudian. Nash yang muncul lebih awal disebut al-mansukh dan nash yang muncul kemudian disebut an-nasikh.
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa nash bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
1. Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul.
2. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh.
3. Nasikh harus datang kemudian dari mansukh.
B. Pembagian Nasikh dan Mansukh
Para ulama membagi nasikh dalam Al-Qur’an menjadi 3:
1. Yang dinasikhkan itu khatnya dan hukumnya.
2. Menarikhkan khat dan menetapkan hukumnya.
3. Yang dinasikhkan itu hukumnya, sedangkan khatnya tetap.
Secara umum nasikh itu dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
a. Ayat yang menasakh hukum memiliki kesamaan dalam pemaparan dan penjelasan dengan hukum yang dinaskh. Dalam dua poin tersebut tidak terdapat permasalahan jika dilihat dari fakta yang ada. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan ulama yang mengatakan adanya nash.
b. Ayat yang menasakh memiliki kesamaan dalam pemaparannya. Proses naskh yang terjadi pada poin ini lebih disebabkan adanya pertentangan adanya keduanya. Oleh karena itu, dipandang wajib menasakh ayat yang lebih dahulu diturunkan dengan ayat yang belakangan.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah.
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an, bagian ini dibolehkan oleh jumhur namun menurut imam Syafi’i tidak dibolehkan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
C. Urgensi Mengetahui Nasakh
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang cukup besar bagi para mufasir, fukaha, dan ahli ushul. Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, tedapat banyak perkataan sahabat maupun tabi’in yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Hikmah adanya naskh adalah:
1. Memelihara kemaslahan makhluk.
2. Berkembangnya tasyri’ menuju martabat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.
3. Sebagai ujian dan cobaan bagi mukallaf, apakah ia menunaikan perintah atau tidak.
4. Memberi kebaikan kepada umat dan kemudahan dalam menunaikan ajaran, karena jika nasakh itu malah semakin memberatkan maka jelas bahwa pahalanya akan bertambah pula, dan jika nasakh tersebut lebih ringan maka itulah suatu kemudahan.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi dan sahabat, seperti hadis yang artinya “aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah”.
2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.
D. Contoh-Contoh Ayat yang Dinasakh
As-Suyuti menyebut dalam Al-Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh.
a. Ayat tentang kiblat
Q.S Al-Baqarah :115
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ
“Dan kepunyaan Allah timur dan barat, maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Allah”.
Ayat diatas berisi penjelasan tentang boleh shalat menghadap kemana saja karena kemanapun kita menghadap disitu ada Allah. Ayat tersebut dinasakh oleh Q.S Al-Baqarah: 144
4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4
“Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram”.
b. Ayat tentang wasiat
Q.S Al-Baqarah: 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orangtua dan karib kerabat dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Dalam ayat diatas dijelaskan tentang kewajiban berwasiat kepada ahli waris terhadap harta-harta yang ditinggalkan. Akan tetapi, ayat diatas mansukh oleh ayat tentang kewarisan (Q.S An-Nisa’: 11) dan oleh hadis yang artinya “Sesungguhnya Allah telah memberi kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
c. Dan lain-lain.
ILMU QIRA’AT AL-QUR’AN
A. Pengertian dan Perkembangan Qira’at
Qira’at bentuk jamak dari kata qiraaah yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al-Zarqani mengemukakan sebagai berikut:
“Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraah yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Quran Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur dari padanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaannya”.
Defenisi ini mengandung tiga unsur pokok:
1. Qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Al-Quran.
2. Cara bacaan yang dianut dalam bacaan mazhab qiraah didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad.
3. Perbedaan antara qiraah-qiraah bisa bisa terjadi dalam pengucapannya dalam berbagai keadaan.
Nabi Muhammad SAW. mengajarkan para sahabat akan qiraat, Nabi memilih bacaan yang sesuai dengan logat sahabat. Tidak sedikit sahabat yang memahami macam-macam bacaan dari Nabi Muhammad karenanya para sahabat berbeda dalam membaca Al-Quran. Meski demikian, para sahabat mempelajari macam-macam bacaan dan memahami bacaan tersebut.
Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan), maka bacalah menurut yang engkau anggap mudah”. (H.R Bukhari dan Muslim).
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
1. Latar Belakang Historis
a. Suatu ketika Umar bin Khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur’an. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya itu berasal dari Nabi. Seusai shalat Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya Nabi pun bersabda, yang artinya: “Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.
b. Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita: “Saya masuk ke mesjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl tetapi bacaanya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya ”siapakah yang membaca ayat itu kepadamu?”, ia menjawab “Rasulullah SAW.”, kemudian datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan teman tadi. Setelah selesai shalatnya saya bertanya “siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab “Rasulullah SAW.”, kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Rasulullah beliau meminta salah satu dari kedua orang itu untuk membacakan lagi surat yang telah dibacanya. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, “baik” kemudian Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama dan Nabi pun menjawab “baik”.
2. Latar Belakang Cara Penyampaian
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qiraat itu bermula dari cara seorang guru membacakan qiraat kepada murid-muridnya. Beberapa ulama merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
b. Perbedaan pada i’rab dan harakat kalimat sehingga mengubah maknanya.
c. Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya sementara maknanya berubah.
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
e. Perbedaan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula.
f. Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkan.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf.
C. Urgensi Mempelajari Qiraat dan Pengaruhnya dalam Istinbath (penetapan) hukum.
1. Urgensi mempelajari qiraat
a. Dapat menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
b. Dapat mentarjih hukum yang telah diperselisihkan para ulama. Misalnya, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau tidak. Hal ini mengandung perbedaan pendapat dikalangan para fukaha.
c. Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
d. Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit untuk memahami maknanya.
2. Pengaruhnya dalam Istinbath (penetapan) hukum
Perbedaan-perbedaan qiraat terkadang berpengaruh dalam menetapkan ketentuan hukum. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 222, yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri’.
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qiraat tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qiraat ‘Ashim riwayat Syu’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata yathurna dengan memberi tasydid pada huruf tha dan ha. Maka bunyinya menjadi yuthahhirna.
Perbedaan antara satu qiraah dan qiraah lainnya terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan ini tentu berpengaruh kepada makna yang selanjutnya berpengaruh pada hukum yang istinbat dari padanya.
Hikmah adanya perbedaan semua ini dalam qiraat sangatlah banyak. Dalam Al-Quran ini terjadinya perbedaan qiraat, kita bisa memilih mana yang disukai dan mudah untuk membacanya.
STRUKTUR HADIS: SANAD, MATAN, DAN MUKHARRIJ
Hadis terdiri dari tiga komponen, yaitu sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadis), dan mukharrij (rawi). Contoh hadis yang memuat tiga unsur berikut:
“Dari Ibnu Umar r.a berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya”. (H.R Bukhari dan Muslim dan selain kedua mereka).
Dari hadis tersebut, kita lihat bahwa hadis tersebut terdiri dari tiga komponen. Yang pertama adalah sanad,
“Dari Ibnu Umar r.a berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda”
Kedua adalah matan,
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya”
Ketiga adalah mukharrij (rawi),
Maksudnya hadis tersebut dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim dan selain kedua mereka.
A. Sanad Hadis
Sanad menurut bahasa berarti sandaran, atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Sedangkan menurut istilah, sanad itu adalah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Apabila seorang perawi berkata,”dikabarkan kepadaku oleh Malik yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW. bersabda....” maka perkataan perawi itu “dikabarkan kepadaku oleh Malik....” hingga sampai “bersabda Rasulullah SAW.” dinamai sanad.
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis itu cukup syaratnya maka hadisnya dinilai shahih. Namun, jika sanadnya tidak memenuhi syarat maka hadis tersebut dinilai dhaif. Adapun syarat sanad adalah adil, taqwa, tidak fasiq, menjaga kehormatan diri, mempunyai daya ingat yang kuat dan sanadnya bersambung dari satu periwayatan kepada periwayatan lain sampai kepada sumber berita pertama.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, adalah:
· Al-isnad, berarti menyandarkan, mengasalkan dan mengangkat.
· Musnid, berarti orang yang menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya.
· Musnad, berarti hadis yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
B.Matan Hadis
Matan adalah materi atau lafaz hadis. Contoh matan hadis:
“Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orangtuanya, anaknya dan manusia semuanya”.
C. Mukarrij (Rawi)
Kata rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis. Sedangkan kata mukharrij merupakan bentuk kata isim fa’il dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan menampakkan, mengeluarkan, dan menarik. Menurut istilah mukharrij adalah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan ke dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang.
Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis.
Akan tetapi, yang membedakan antara rawidan sanad, jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu:
· Dalam hal pembukuan hadis.
Orang yang menerima hadis-hadis kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab, disebut dengan rawi. Dengan demikian rawi dapat disebut dengan mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadis). Adapun orang-orang yang menerima hadis dan hanya menyampaikannya kepada orang lain tanpa membukukannya disebut sanad hadis.
· Dalam penyebutan silsilah hadis.
Untuk sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadis tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama adalah para sahabat Rasulullah SAW. dengan demikian penyebutan silsilah antara keduanya merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama adalah sanad terakhir, dan sanad pertama adalah rawi terakhir.
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADIS DARI ABAD II SAMPAI SEKARANG
A. Sejarah Perkembangan Hadis
a. Masa pembentukan Hadis
Masa pembentukan hadis tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadis belum ditulis, dan hanya berada dalam benak dan hafalan para sahabat saja, periode ini disebut dengan alwahyu wa attakwin. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya (610 M-632 M).
b. Masa penggalian
Masa ini adalah masa para sahabat dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pada masa ini kitab hadis belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadis dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
c. Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadis baru, seiring dengan terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadis palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadis baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadis itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan Hadis. Masa ini terjadi pada abad ke-2 H, dan hadis yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadis marfu’, mauquf dan maqthu’.
d. Masa pendiwanan dan penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadist. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadist sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadist dan memisahkan kumpulan hadist yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadist pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadist yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadist terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadist seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Hadis abad 4 H.
B. Pembukuan Hadis Dari Abad 2 Sampai Sekarang
1. Penulisan dan pembukuan Hadis secara resmi (abad ke-2 H)
Pada periode ini hadis-hadis Nabi SAW. mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis dari dinasti Umayyah. Umar bin Abdul Azis mempunyai kepentingan dan alasan dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan secara resmi, yaitu:
· Karena kekhawatiran beliau akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama hadis.
· Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman adalah hadis.
· Karena ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan hadis-hadis Rasulullah SAW. yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian islam itu sendiri.
Menurut Ajjaj al-Khattib bahwa pembukuan hadis telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar yaitu Abdul Azis yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Tentunya pengkodifikasian hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar mengumpulkan hadis yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis terutama hadis-hadis yang sudah dipercayai kesahihannya.
2. Masa pemurnian dan penyempurnaan penulisan hadis (abad ke-3 H)
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadis berlangsung sejak pemerintahan Al-Ma’mun sampai awal pemerintahan Al-Muqtadir dari dinasti Abbasyiah. Ulama-ulama hadis memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadis, terutama kemurnian hadis Nabi SAW. sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadis yang semakin marak. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fiqih dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadis mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Wastiq yang mereka sangat mendukung kaum Mu’tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan hadis-hadis palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.
Ulama mu’tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli hadis, bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadis serta menuduh ahli hadis bodoh dan dungu. Oleh sebab itu, para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadis dapat terus diperhatikan dan diabadikan dengan meyeleksi satu demi satu hadis yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi SAW. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadis yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari (16 tahun) dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka melakukan pengklasifikasian hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’), yang disandarkan kepada sahabat (mauquf), yang disandarkan kepada tabi’in (maqthu’), dan hadis palsu (maudhu’), serta penyeleksian hadis kepada hadis shahih, hasan, dan dha’if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadis pada periode ini adalah:
a. Kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
b. Kitab Sunan, selain kita jumpai hadis-hadis shahih, juga dijumpai hadis yang berkualit-as dha’if dengan syarat tidak terlau lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini adalah Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmizi, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
c. Kitab Musnad, dalam kitab ini dijumpai hadis-hadis disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan huruf hijaiyah dan lain-lain. Yang termasuk dalam kitab ini adalah Musnad Ahmad ibnu Hambal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab hadis tersebut merupakan kebutuhan untuk menyeleksi bahwa hadis tersebut murni dari Nabi SAW. atau tidak. Dan hadis tersebut dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah sekaligus.
3. Masa pemeliharaan, penertiban dan penambahan dalam penulisan hadis (abad 4 s/d 7 H)
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadis sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan islam semakin luas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadis sudah menjadi tanggung jawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah Al-Muqtadir sampai kepada Al-Mu’tashim, walaupun kekuasaan islam sudah mulai melemah pada abad ke-7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadis dalam rangka memeliharanya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadis yang dihimpun adalah:
a. Al-Shahih, oleh ibnu Khujaimah (313 H).
b. Al-Anwa’wa al-Taqsim, oleh ibnu Hibban (354 H).
c. Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
d. Al-Muntaqa, oleh ibnu Jarud.
e. Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibnu Abd Al-Maqsidi.
Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi ulama hadis, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad dan matannya saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadis pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
a. Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadis tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lain.
b. Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, atau keduanya dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri.
c. Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya.
d. Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
· Yang menghimpun hadis-hadis shahih Bukhari dan Muslim.
· Yang menghimpun hadis-hadis dari kutubussittah.
· Yang menghimpun hadis-hadis Nabi dari berbagai kitab hadis.
4. Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan hadis (abad 7 H s/d sekarang)
a. Kegiatan periwayatan hadis
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasyiah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi, dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai’at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia islam.
Setelah masa berlalu, kekuasaan dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan Turki atas peninggalan bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Usmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun, Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah islam sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kebangkitan kembali umat islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi islam diatas, maka periwayatan hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah dan mukatabah. Sedikit sekali dari ulama hadis pada periode ini melakukan periwayatan hadis secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu, diantaranya:
· Al-‘Iraqi (wafat 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadis secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H/ 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadis.
· Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H/ 1448 M), seorang penghafal hadis yang tiada tandingan pada masanya. Ia telah mendiktekan hadis kepada1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkiatan dengan hadis.
· Al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar yang telah mendiktekan hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.
Pada masa ini, para ulama hadis pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadis yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkan dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab syarah, mukhtasar, zawa’id, takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadis pada saat sekarang, selain mengkaji matan hadis tersebut dapat dijadikan rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima hadis tersebut shahih atau tidak. Akan tetapi, kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab hadis tersebut beroperasi yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadis dari orang-orang yang menyelewengkannya. Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para perawi hadis baik yang bersangkutan dengan umur, tanggal berapa mereka dilahirkan, di mana tempat tinggal mereka dan kapan mereka menerima hadis dari guru-guru mereka.
b. Bentuk penyusunan kitab hadis
Pada periode ini, umumnya para ulama hadis mempelajari kitab-kitab hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskasannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
1.Kitab Syarah, yaitu kitab memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya. Diantara contohnya adalah:
· Fath Al-Bari, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih Al-Bukhari.
· Al-Minhaj, oleh An-Nawawi yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
· ‘Alun Al-Ma’bud, oleh Syams Al-Haq Al-Azhim Al-Abadi syarah sunan Abu Dawud.
2.Kitab Mukhtasar, yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadis seperti Mukhtasar Shahih Muslim oleh Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi.
3.Kitab Zawa’id, yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id Al-Sunan Al-Kubra oleh Al-Bushri yang memuat hadis-hadis riwayat Al-Baihaqi yang tidak termuat dalam Kutubussittah.
4.Kitab petunjuk (kode indeks) hadis, yaitu kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz Al-Sunnah oleh A.J Wensick yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh M. Fu’ad Al-Baqi.
5.Kitab Takhrij, yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contahnya adalah Takhrij Al-Hadis Al-Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.
6.Kitab Jami’, yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis tertentu seperti Al-Lu’lu’wa al-marjan karya Muhammad Fu’ad Al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
7.Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya Bulugh Al-Maram min Adillah Al-Hakam oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan koleksi hadis-hadis hukum oleh T.M Hasbi Ash-shiddiqy.
c. Kitab-kitab hadis yang disusun pada abad ke II H ialah:
· Al-muwattha karya Imam Malik.
· Al-Maraghi karya Muhammad bin Ishaq.
· Al-Jami’ karya Abdurrazad.
· Al-Mushannaf karya Al-Auza’i
· Al-Musnad karya Imam Asy-Syafi’i.
HADIS DHA’IF DAN MAUDHU’
A. Pengertian Hadis Dhaif dan Macam-Macamnya
Hadis dha’if yaitu hadis yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Kata dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat yang berarti lemah. Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.
Kedhaifan hadis disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu: terputusnya sanad dan terdapat cacat pada diri seorang perawi atau matannya. Berdasarkan sebab-sebab kedhaifan suatu hadis, hadis dhaif dibagi kepada:
1. Ditinjau dari segi putusnya sanad hadis:
a. Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq adalah hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut. Hadis ini hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dihapuskan oleh seorang perawi sementara keadaan perawi yang dihapuskan tersebut tidak diketahui.
b. Hadis Mursal
Hadis mursal adalah hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’in. Hukum hadis ini juga tertolak karena kurangnya salah satu syarat keshahihannya dan syarat diterimanya hadis tersebut yaitu persambungan sanad. Selain itu juga dikarenakan tidak dikenalnya keadaan perawi yang dihilangkan tersebut sebab boleh jadi perawi yang dihilangkan itu bukanlah sahabat. Dengan adanya kemungkinan tersebut maka ada kemungkinan hadis tersebut adalah hadis dhaif. Akan tetapi, beberapa ulama berbeda pendapat tentang status hadis mursal dan berhujjah dengannya.
c. Hadis Mu’dhal
Hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut. Mu’dhal dalam riwayat adalah bahwa terdapat antara seorang mursil (orang yang menggugurkan rangkaian sanad hadis sebelum Rasul) kepada Rasulullah SAW. lebih dari satu orang.
Dari dua defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis mu’dhal adalah setiap hadis yang gugur dua orang perawi atau lebih dari sanadnya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di pertengahan, atau di akhir sanad.
d. Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang perawi pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Macam-macam pengguguran (inqitah’) adalah sebagai berikut:
· Inqitha’ dilakukan dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis padanya atau hidup sezaman dengan gurunya tetapi tidak mendapat ijazah atau perizinan untuk meriwayatkan hadis.
· Inqitah’ dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
· Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.
e. Hadis Mudallas
Hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkan oleh mudallis disebut mudallas dan perbuatannya adalah tadlis.
Macam-macam tadlis adalah sebagai berikut:
· Tadlis isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu dengannya, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis darinya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan lafaz menyampaikan hadis dengan ‘an fullan atau anna bulanan yuqalu.
· Tadlis syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan suatu hadis yang didengar dari gurunya dengan menggunakan nama kuniyahnya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
· Tadlis taswiyah, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah itu diterima dari gurunya yang tsiqah pula. Tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebut rawi-rawi yang lemah bahkan ia meriwayatkan hadis dengan lafaz yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
2. Pembagian hadis dhaif ditinjau dari segi cacatnya rawi
Yang dimaksud dengan cacat pada perawinya adalah bahwa terdapat kekurangan atau cacat pada diri perawi tersebut, baik dari segi keadilannya, agamanya, kuat ingatannya, hafalan, dan ketelitiannya. Pembagiannya, yaitu:
a. Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang mempunyai cacat pada al-tuhmah bil al-kadzab (tertuduh dusta) yaitu peringkat kedua terburuk sesudah al-kadzib, pembohong atau dusta. Pada umumnya seorang perawi yang tertuduh dusta adalah karena dia dikenal berbohong dengan pembicaraannya sehari-hari, namun bukan secara nyata kebohongan tersebut ditujukan kepada hadis Rasulullah SAW. atau hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh dia sendiri sementara keadaannya menyalahi kaidah-kaidah umum.
b. Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadis yang perawinya memiliki cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya.
c. Hadis Mu’allal
Hadis mu’allal adalah hadis yang perawinya cacat karena al-wahm yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
d. Hadis Mathlub
Hadis mathlub adalah hadis yang mengganti suatu lafaz dengan lafaz yang lain pada sanad hadis atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengemudiakannya.
e. Hadis Mudraj
Hadis mudraj adalah hadis yang terdapat padanya tambahan yang bukan bagian dari hadis tersebut.
f. Hadis Mudhtharib
Hadis mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
B. Hadis Maudhu’
Apabila ditinjau dari segi bahasa, hadis maudhu’ merupakan bentuk kata isim maf’ul dari . Kata memiliki beberapa makna, antara lain menggugurkan, mislanya kalimat ‘hakim menggugurkan hukuman bagi seseorang’. Juga bermakna meninggalkan, misalnya ungkapan ‘unta yang ditinggalkan di tempat penggembalaannya’. Selain itu, juga bermakna mengada-ada atau membuat-buat, misalnya kalimat ‘fulan membuat-buat kisah itu’.
Adapun hadis maudhu’ menurut istilah muhaddisin adalah:
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, yang tidak beliau kerjakan ataupun yang tidak beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa hadis maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan maupun takrirnya secara rekaan atau dusta semata. Dalam penggunaan masyarakat islam hadis maudhu’ disebut juga dengan hadis palsu.
AL-TAHAMMUL WA AL-ADA’
A. Pengertian Tahamul Al-Hadis dan Ada’ Al-Hadis
a. Penerimaan Hadis (tahamul hadis)
Menurut bahasa tahamul merupakan mashdar dari fi’il madhi tahammala yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul hadis menurut bahasa adalah menerima dan mendengar suatu hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Sedangkan tahammul hadis menurut istilah ulama hadis, sebagaimana yang tertulis dalam kitab taisir mushtalah hadis adalah menerima hadis dan mengambilnya dari pada syekh atau guru.
b. Penyampaian Hadis (al-ada’)
Pengertian al-ada’ menurut bahasa adalah menyampaikan. Sedangkan menurut istilah adalah meriwayatkan suatu hadis dan memberikannya kepada para murid. Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadis kepada murid, atau proses mereportasekan hadis setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadis adalah:
· Dhabit
Yaitu, memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid.
· Berakal
· Tamyiz
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul dengan batasan usia. Adapun beberapa pendapat ulama, antara lain:
Ø Qolli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis Nabi.
Ø Abu Abdullah az-Zubair berpendapat bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna.
Ø Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Beberapa ulama hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak yang menerima hadis, mayoritas ulama hadis menganggap mereka boleh menerima hadis, sementara yang lain berpendapat tidak sah. Akan tetapi, yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in menerima hadis dari Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Menurut Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan biri-biri. Menurut imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Dan ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan yang baik dan benar.
Syarat-syarat perawi dalam al-ada’ hadis adalah:
· Islam
· Balig
· ‘Adalah (adil)
Adil merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketakwaan dan muru’ah (harga diri). Sifat ‘adalahnya seorang rawi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis perawi yang bersifat ‘adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri. Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu islam dan balig. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal.
· Dhabit
Dhabit ialah ingatan seseorang yang meriwayatkan hadis harus ingat akan hadis yang ia sampaikan tersebut. Dhabit oleh ulama hadis dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Dhabitush-shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar di dalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
2) Dhabit al-kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar. Kitab tersebut juga dijaga dan ditashhih sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab catatannya tersebut.
· Tidak syadz
Artinya hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Al-Quran.
B. Macam-Macam Cara Periwayatan Hadis
1. Al-Sima’
Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baim dengan cara didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Jumhur ulama membolehkannya dengan mendasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal tersebut ketika meriwayatkan hadis-hadis Nabi melalui para istri Nabi.
Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baim dengan cara didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Jumhur ulama membolehkannya dengan mendasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal tersebut ketika meriwayatkan hadis-hadis Nabi melalui para istri Nabi.
2. Al-qira’ah ‘ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qiraah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain. Sedangkan sang guru mendengarkan dan menyimak baik guru itu hafal maupun tidak, tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Mayoritas ulama memperbolehkan metode ini, namun sebagian lainnya tidak memperbolehkannya. Sebagian ulama menilai membaca dan mendengar di hadapan guru dari pada tingkat yang sama. Ada juga yang menilai lebih tinggi membaca di hadapan guru dari pada mendengar darinya. Alasannya adalah bahwa kadang-kadang melakukan kesalahan dalam bacaannya sendiri dan tidak diluruskan.
Mayoritas ulama memperbolehkan metode ini, namun sebagian lainnya tidak memperbolehkannya. Sebagian ulama menilai membaca dan mendengar di hadapan guru dari pada tingkat yang sama. Ada juga yang menilai lebih tinggi membaca di hadapan guru dari pada mendengar darinya. Alasannya adalah bahwa kadang-kadang melakukan kesalahan dalam bacaannya sendiri dan tidak diluruskan.
3. Ijazah
Yakni seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Di antara macam-macam ijazah adalah:
· Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu.
· Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya.
· Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan.
· Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,” Aku ijazahkah kepada Muhammad bin Khalid ad-Dimasyqi”, sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
· Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata, “Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
4. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk diriwayatkan. Al-Munawalah ada dua macam:
· Al-munawalah yang disertai ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada seorang murid, lalu mengatakan kepadanya, “ini riwayatku dari si fulan maka riwayatkanlah dariku.” Kemudian buku itu diambil untuk dipinjamkan atau untuk di salin, kemudian yang akan diriwayatkan.
· Al-munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada seorang murid dengan hanya mengatakan: “ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
5. Al-Kitabah
Yaitu seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau tidak. Kitabah ada dua macam:
· Kitabah yang disertai dengan ijazah.
· Kitabah yang tidak disertai ijazah. Seperti syaikh mengirimkan tulisan hadis kepada muridnya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatnya. Sebagian tidak memperbolehkannya dan sebagian lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut karangan syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadis ini atau kitab ini adalah riwayat si fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkannya dari padanya. Perbedaan pendapat dalam masalah ijazah tidak boleh mempengaruhi pengamalan hadis, karena mengamalkan isi hadis wajib bagi yang mendengarnya apabila sanadnya shahih.
7. Al-Washiyyah
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Periwayatan seperti ini di anggap lemah oleh jumhur ulama.
8. Al-Wijaadah
Yakni seseorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara sima’, ijazah, atau munawalah. Para ulama berselisih pendapat tentang ini. Imam syafi’i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis-hadis yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Ash-Shalah mengatakan bahwa sebagian ulama muhaqqin mewajibkan mengamalkannya jika diyakini kebenarannya.
INGKAR SUNNAH
A. Pengertian Ingkar As-Sunnah
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Penyebutan ingkar as-sunnah tidak semata-mata berarti penolakan total terhadap sunnah. Penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk dalam kategori ingkar sunnah, termasuk didalamnya penolakan yang berawal dari sebuah konsep berfikiryang dalamnya penolakan dari sebuah konsep berfikir yang janggal atau metodologi khusus yang diciptakan sendiri oleh segolongan orang- baik masa lalu maupun sekarang- sedangkan konsep tersebut tidak dikenal dan diakui oleh ulama hadis dan fiqih.
Ada tiga jenis kelompok ingkar As-sunnah.
Ø Pertama, kelompok yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan.
Ø Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara tersurat atau tersirat.
Ø Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat metawatir) walaupun sahih. Mereka beralasan dengan ayat: QS. An-Najm : 28
$tBur Mçlm; ¾ÏmÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( bÎ) tbqãèÎ7Ft wÎ) £`©à9$# ( ¨bÎ)ur £`©à9$# w ÓÍ_øóã z`ÏB Èd,ptø:$# $\«øx© ÇËÑÈ
Artinya: “.... sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm ayat 28)
Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri.
Selain itu ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yang masih sangat sederhana pembatasannya di antaranya sebagai berikut:
1. Paham yang timbul dalam masyarakay Islam yang menolak hadist atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelahb Al-Qur’an.
2. Suatu pahamyang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam darisunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totaloitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasanyang dapat diterima.
Dapat disimpulkan ingkar sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunah Rasul, baik sebagian maupun kesuluruhannya, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatarbelakangi oleh kesombongan , keyakinan dan lain-lain.
B. Latar Belakang Kemunculannya
Hal yang melatarbelakangi munculnya golongan ini adalah ketidak fahaman mereka sendiri tentang ilmu hadits baik pada masa lalu maupun sekarang. Termasuk didalamnya adalah kelompok Inkar al-Sunnah yang ada di Indonesia dan Malasyia. Selain itu ketidaktahuan mereka atas makna al-Qur’an, ilmu tafsir dan bahasa Arab juga mendorong munculnya kelompok tersebut.
Sejarah perkembangan Inkar al-Sunnah dapat dikelompokan dalam dua periode yaitu :
1. Periode Ingkar Sunnah Klasik
Sejak masa sahabat sudah ada dari mereka yang kurang begitu memperhatikan kedudukaan sunnah nabi SAW, namun mereka tidak mewakili golongan, mereka hanya mewakili kekeliruan diri mereka sendiri yang pada akhirnya mereka menyadari kekhilafan mereka (abad ke-2 Hijriyah). Hingga ahir abad ke-2 Hijriyah munculah kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber syariat Islam, yang awal kemunculanya adalah di Bashrah Irak.
1) Khawarij dan Sunnah
Secara bahasa khawarij berarti “sesuatu yang keluar”. Sementara secara terminologis berarti golongan yang keluar dan tidak loyal kepada pemimpin yang sah, yang dalam hal ini adalah Ali Bin Abu Thalib. Ini terjadi karena anggapan mereka semua sahabat Nabi SAW sudah keluar dari Islam(imbas dari konflik atau fitnah yang terjadi pada masa Ali), sehingga golongan ini menolak semua hadis yang diriwayatkan para sahabat. Kini kelompok ini telah musnah bersamaan dengan kitab-kitabnya.
2) Syiah dan Sunnah
Kata syiah berarti “para pengikut” atau “para pendukung”. Secara terminologis syiah berarti golongan yang menganggap bahwa Ali Bin Abi Thalib r.a lebih utama dari pada Khalifah sebelumnya, dan berpendapat bahwa Ahl-Bait lebih berhak menjadi khalifah dari pada yang lain. Golongan syiah terdiri dari berbagai kelompok, yang tiap-tiap kelompok menilai kelompok lain telah keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih tegak hingga kini adalah Itsna ‘asyariyah’, kelompok ini menerima hadis Nabawi (hadis yang dinisbatkan kepada Nabi) sebagai salah satu sumber syariat Islam. Namun terdapat perbedaan dalam hal penetapan hadis antara syiah dan Ahlu As-Sunnah.
3) Mu’tazilah dan Sunnah
Arti secara bahasa “sesuatu yang mengasingkan diri’. Artinya golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karna mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq tidak dapat disebut mukmin atau kafir.
4) Pembela Sunnah
Imam Syafi’i merupakan tokoh yang sejak dulu mempunyai andil besar dalam upaya melemahkan kelompok Inkar al-Sunah beliau banyak melakukan perdebatan sehingga banyak dari golongan Inkar al-Sunah yang tunduk dan kembali kepada sunnah ( menerima hadits ). Maka akhirnya beliau dijuluki sebagai Nashir as-Sunnah (pembela sunnah).
2. Periode Inkar As-Sunnah Masa Kini
Pemikiran mengenai penolakan sunnah muncul kembali pada abad ke-empat belas Hijriyah setelah pada abad ke-tiga pemikiran seperti itu lenyap ditelan zaman. Mereka muncul dengan bentuk dan penampilan yang jauh berbeda dari Inkarusunnah periode klasik, yang mana kemunculan mereka lebih terpengaruh pada pemikiran kolonialisme yang ingin menghancurkan dunia Islam. Inkar al-Sunnah peride ini muncul pertama kali di Kairo, Mesir. Selain itu Inkar al-Sunnah masa ini muncul dalam bentuk golongan yang terorganisi yang mempunyai pemimpin atau tokoh-tokoh dalam ajaran mereka, yang mana tokoh-tokoh mereka menyebut dirinya sebagai Mujtahid atau pembaharu. Bahkan saat mereka mengetahui bahwa ajaran mereka salah mereka tidak lantas sadar seperti Inkar al-Sunnah periode klasik, tetapi terus mempertahankan dan menyebarkanya walaupun pemerintah setempat telah mengeluarkan larangan resmi atas ajaran mereka.
Begitulah golongan Inkar as-Sunnah terus menyebar ke berbagai belahan bumi dimana Islam berkembang sebagai wujud adanya kekuatan internal yang hendak melemahkan panji-panji kebesaran Islam, tak luputnya tanah air tercinta ini.
C. Argumentasi Ingkarussunnah
1. Agama Bersifat Konkret dan Pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti.
Seperti dituturkan dalam Ayat sebagai berikut: Q.S Al-Baqarah:1-2
$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Artinya:
1. Alif laam miin
2. Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari hadis –khususnya hadis Ahad- bersifat dhanni (dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada peringkat pasti. Karena itu, apabila agama Islam berlandaskan hadis di samping Al-Quran Islam akan bersifat ketidakpastian.
2. Al-Quran Sudah Lengkap
Dalam syari’at Islam, tidak ada dallil lain, kecuali Al-Quran.
Q.S Al-An’am:38
$tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wur 9ȵ¯»sÛ çÏÜt Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u crç|³øtä ÇÌÑÈ
Artinya:
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab(Al-quran), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Jika kita berpendapat Al-Quran masih memerlukan penjelasan berarti kita secara tegas mendustakan Al-Quran dan kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara tuntas. Oleh karena itu, dalam syari’at Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali Al-Quran. Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
3. Al-Quran Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Quran tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Allah berfirman:
tPöqtur ß]yèö7tR Îû Èe@ä. 7p¨Bé& #´Îgx© OÎgøn=tæ ô`ÏiB öNÍkŦàÿRr& ( $uZø¤Å_ur Î/ #´Íky 4n?tã ÏäIwàs¯»yd 4 $uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S. An-Nahl [16]: 89)
uqèdur üÏ%©!$# tAtRr& ãNà6øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Wx¢ÁxÿãB 4
Dan Dialah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci. (Q.S. Al-An’am [6]: 114)
Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh para pengingat Sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al-Quran sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-p\orang yang menolak hadis secara keseluruhan, seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
0 Komentar