Makalah Sejarah Pergerakan Nasional : Taman Siswa dan Ki Hajar Dewantara


PEMBAHASAN
Indonesia pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Belanda menjajah Indonesia tiga setengah abad. Sedangkan Jepang menjajah Indonesia selama lebih kurang tiga setengah  tahun. Tidak seperti halnya Inggris terhadap rakyat jajahannya seperti India daan Mesir, Belanda tergolong pelit terhadap rakyat jajahannya. Sedangkan, Inggris bersikap baik dan memberdayakan terhadap rakyat jajahannya. Akibatnya rakyat jajahan Inggris adalah rakyat yang berpendidikan. Sedangkan, rakyat jajahan Belanda adalah rakyat bodoh. Itulah yang dialami dan terjadi pada bangsa Indonesia. Menjelang akhir masa penjajahannya, Belanda mulai memberikan perhatian terhadap pendidikan bangsa Indonesia, setelah mendapatkan tekanan dari dunia Internasional, dan mutu pendidikan yang mereka berikan adalah pendidikan yang bermutu rendah serta diupayakan agar bangsa Indonesia jadi budak penjajah dan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Kondisi pendidikan yang demikian itu telah mendorong Ki Hajar Dewantara untuk meresponinya. Dialah tokoh yang menggas agar pendidikan yang diberikan ke bangsa Indonesia adalah pendidikan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sendiri dan didasarkan oleh semangat nasionalisme, patriotisme serta membangun jati diri bangsa sebagai manusia yang merdeka, bebas, bermartabat, dan dihormati bangsa lain. Berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan seperti visi, misi, tujuan, kurikulum, dan tahapan pendidikan harus rumuskan berdasarkan kemauan bangsa Indonesia Indonesia sendiri. Gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara inilah yang kemudian menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan nasional hingga sekarang. Dialah bapak pendidikan nasional Indonesia. Prinsip pendidikan yang sangat demokratis yang berbunyi “ ing ngarso sing taludo, ing madya mangun karso, tut wuri Handayani  “ ( di depan memberi contoh, di tengah membangkitkan kreativitas dan di belakang memberikan pengawasan ) adalah berasal dari Ki Hajar Dewantara. Demikian pula gagasan pendidikan yang berwawasan global dengan cara mengharuskan para siswa menguasai pengetahuan agama dan umum serta menguasai bahasa asing telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, jauh sebelum bangsa Indonesia mengenal apa yang disebut era globalisasi.[1]
Berbicara tentang pendidikan pada umumnya, serta pendidikan islam pada khususnya di Indonesia tidak dapat ditinggalkan pembicaraan terhadap tokoh dan pejuang pendidikan Indonesia sejati yang bernama Ki Hajar Dewantara. Seorang pakar yang berkecimpung atau mengonsentrasikan keahliannya dalam bidang pendidikan, amatlah naif apabila tidak mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara. Hal yang demikian itu terjadi antara lain disebabkan karena berbagai konsep strategis tentang pendidikan di Indonesia dalam hampir seluruh aspeknya senantiasa merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Gagasan dan pendidikan Ki Hajar Dewantara telah ditulis dalam berbagai karangannya yang mendapatkan sambutan hangat dari kepala negara, Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno. Karena demikian luas dan mendalam pemikiran pendidikannya itu, maka boleh jadi ia belum dapat dibaca oleh para pakar pendidikan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, karena berbagai alasan. Bagaimanakah corak, sifat dan karakter pemikiran pendidikannya itu, boleh jadi belum dapat di pahami dengan baik oleh masyarakat.
Demikian pula dalam situasi reformasi seperti sekarang ini, konsep pendidikan di Indonesia tengah ditinjau ulang untuk kemudian dihasilkan suatu rumusan konsep pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam kaitan mencari rumusan konsep pendidikan yang demikian itu, maka sebaiknya kita menengok sejenak pemikiran-pemikiran pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, dalam kerangka al-muhafadah ala al Qadim al shalih wa akhzu bi al jadi al ashah ( meneruskan hal-hal masa lalu yang masih relevan dan mengambil pemikiran baru yang lebih baik ).
Sejalan dengan pemikiran singkat tersebut diatas, maka uraian yang ada pada bab ini paling tidak akan membantu para membaca untuk memahami pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara secara cepat dan tepat, untuk kemudian dijadikan bahan bagi pengembangan dan perumusan konsep pendidikan di masa depan.
Sebagai seorang muslim yang taat dsn tinggal dalam lingkungan budaya Jawa yang kental, maka dapat diduga kuat, bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara itu, selain di pengaruhi oleh latar belakang pendidikan, situasi politik dan perjalanan hidupnya, juga akan dipengaruhi oleh pandangannya tentang ajaran islam. Hal ini pada gilirannya menjadi dasar yang kuat untuk mengidentifikasi corak dan sifat dan gagasan-gagasan pendidikannya itu.
a.       Biografi pendiri Taman Siswa
                              Image result for ki hajar dewantara
Ki Hajar Dewantara yang nama aslinya Suwardi Suryaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H. Di Yogyakarta, dan wafat pada 26 April 1959 bertetapan dengan 1376 H ( berusia 70 tahun ).
Dilihat dari segi leluhurnya, ia adalah putra dari suryaningrat, putra Paku Alam III. Sebagai seorang keluarga ningrat, ia termasuk yang memperoleh keuntungan dalam mendapatkan pendidikan yang  baik. Pendidikan dasarnya ia peroleh dari sekolah rendah Belanda ( Europeesche Lagere School, ELS ). Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah Guru ( Kweek School ), tetapi sebelumnya sempat pindah ke STOVIA ( School tot Opleiding Van Indische Arten ). Namun sekolah ini pun ia tidak sempat menamatkan pendidukannya, dikarenakan ayahnya mengalami kesulitan ekonomi. Sejak saat itu, ia memilih terjun ke dalam bidang jurnalistik, suatu bidang yang kelak mengantarkannya ke dunia pergerakan ke dunia pergerakan politik nasional.
Pada tahun 1912, nama Ki Hajar Dewantara dapat dikategorikan sebagai tokoh muda yang mendapat perhatian Cokroaminoto untuk memperkuat barisan syarikat islam cabang Bandung. Oleh karena itu, ia bersama dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang masing-masing diangkat sebagai Ketua dan Wakil ketua,  Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris. Namun keterlibatannya dalam Syarikat Islam ini terhitung singkat, tidak genap satu tahun. Hal ini terjadi, karena bersama dengan E.F.E.Dowwes Dekker dan Cipto Mangunkusomo, ia diasingkan ke Belanda ( 1913 ) atas dasar orientasi politik mereka yang cukup radikal. Selain alasan tersebut, Ki Hajar Dewantara pun jauh lebih mengaktifkan dirinya pada Indische Partij yang  didirikan pada tanggal 6 september 1912. Dengan alasan ini, maka Ki Hajar Dewantara tidak memiliki kesempatan untuk menjadi tokoh penting di lingkungan Syarikat Islam.
Sebagai tokoh pergerakan politik dan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran melainkan juga terlihat aktif sebagai pelaku yang berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang melalui pendidikan yang diperjuangkannya melalui Sistem Pendidikan Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka dapat diduga ia memiliki konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di Indonesia. Konsep ini cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Karena jasanya yang demikian besar yang demikian besar dalam dunia pendidikan nasional, maka hari keahirannya, tanggal 2 Mei dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional. [2]
b.      Gagasan dan pemikiran pendidikan
1.      Visi, Misi dan tujuan pendidikan
Dalam kapasitasnya yang demikian itu dapat diduga kuat bahwa ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang dikemukakannya.
Secara sederhana visi dapat diartikan suatu cita-cita ideal yang bersifat jangka panjang jauh ke depan dan mengandung makna yang amat dalam yang kemudian berfungsi sebagai arah pandang kemana suatu kegiatan akan diarahkan. Secara konseptual visi biasanya berisi rumusan kalimat yang tegas, jelas dang singkat.
Misi adalah serangkaian langkah-langkah strategis yang lebih terperinci dan terukur yang apabila dilaksanakan akan terasa pengaruhnya baik secara psikologis, sosiologis maupun kultural. Kumpulan dari  misi tersebut selanjutnya berfungsi untuk mencapai visi.
Adapun tujuan, adalah langkah-langkah strategis yang lebih terukur dan dapat dijangkau hasilnya dalam kurun dan kadar tertentu.
Dalam berbagai tulisannya, Ki Hajar Dewantara tidak mengemukakah visi dan misi tujuan pendidikan secara eksplisit. Namun dapat disimpulkan dari beberapa tulisannya bahwa  visi, misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal, sehingga mereka dapat berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.
Pernyataan visi, misi dan tujuan pendidikan yang bernuansa perjuangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi sosial politik pada masanya, yaitu politik kolonial penjajah Belanda yang telah menguras kekayaan alam Indonesia serta menyengsarakan rakyat Indonesia secara lahir bathin.
Pada masa Ki Hajar Dewantara, pemerintah kolonial Belanda memang telah mulai memberikan sedikit kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda itu tidak lepas  dari tujuan kolonialisme, dan bukan untuk mengangkat harkat dan martabat dan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia mengatakan bahwa pengajaran yang kita terima dari pemerintah itu  pertama kali sangat kurang, kedua kalinya sangat mengecewakan sebagai alat pendidikan rakyat . sungguhpun ada sebahian kecil dari bangsa kita yaitu kaum priyayi yang boleh menuntut pelajaran di sekolah Belanda hingga kemudian dapat meneruskan pelajarannya di sekolah yang lebih tinggi, tetapi untuk rakyat umum tertutup pintu yang dapat menuntut ke arah penghidupan yang pantas. Kemudian kita mendapat sekolah  bumiputra kelas satu, yang kelak menjadi HIS ( Holland Indischee School ) banyak orang yang merasa senang, karena ada pengharapan bagi anak-anaknya mencapai kepandaian yang bisa dijadikan alat untuk mencapai derajat penghidupan yang sama dengan penghidupan bangsa lain hidup di tanah kita. Akan tetapi pengharapan itu dikatakan sia-sia belaka. Bahkan anak-anak pengeluaran HIS itu umumnya masih kuran kepandaiannya untuk meneruskan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi. Untuk mencari pekerjaan, maka anak-anak keluaran HIS itu masih sangat mentah, kebanyakan mereka hanya cakap buat menjabat juru tulis atau juru tulis pembantu dengan gaji yang sama dengan gaji jongos atau koki. 
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia adalah pendidikan yang tidak bermutu, berbeda dengan pendidikan yang mereka berikan kepada bangsanya sendiri atau orang-orang Eropa, termasuk orang China. Dengan kata lain, pemerintah Belanda telah bersikap sangat diskriminatif terhadap bangsa Indonesia.
Atas dasar bukti seperti inilah Ki Hajar Dewantara menginginkan agar rakyat Indonesia memiliki Pendidikan yang tidak kalah mutunya dengan pendidikan yang diselenggarakan adalah pendidikan yang bebas dari campur tangan penjajah, ditentukan oleh Visi, misi dan tujuan kita sendiri, melalui lembaga pendidikan yang diadakan oleh sendiri. Inilah yang menyebabkan Ki Hajar Dewantara mendirikan lembaga Taman Siswa. Adapun perlunya landasan budaya dan peradaban bangsa sendiri yang menjiwai pendidikan bagi bangsa Indonesia sebagaimana terlihat pada Taman Siswa, adalah karena pendidikan yang diberikan oleh kolonial Belanda kepada bangsa kita pendidikan yang menyebabkan bangsa kita kehilangan kepercayaan pada dirinya dan kepada rakyatnya, bahkan juga kepada perikeadaban bangsa sendiri, sehingga kultur kita amat bergantung pada masyarakat Eropa pada negeri ini. Dalam kaitan ini, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa usaha dari perguruan kebangsaan untuk membelokkan aliran kolonial ke arah nasional dengan mengadakan cara dan si pengajaran sendiri, sering kali hanya dapat persetujuan dalam kata, tidak dengan tenaga, disebabkan karena umumnya orang masih meengharap dapat tempat di dalam masyarakat Hindia Belanda, sehingga sering kali aliran prinsipil nasional terdesak oleh pengaruh Eropa.[3] Dan perlu ditanamkan pula jiwa kebangsaan dan kebudayaan Indonesia melalui pendidikan yang diselenggarakan sendiri, karena menurut Ki Hajar Dewantara  pendidikan kolonial Belanda yaitu tidak sejalan dengan falsafat orang Timur yang menekankan prinsip keseimbangan  antara pemenuhan lahir dan bathin, material spiritual, jasmani dan rohani, individual dan sosial, emosional dan intelektual. Pendidikan kolonial yang diberikan kepada bangsa Indonesia telah menyebabkan rakyat kita menjadi materialistis ( mengutamakan hidup materi semata-mata ), rasionalistis ( hanya menerima hal-hal yang benar menurut akal saja ), egoistis ( hanya mementingkan diri sendiri saja ) dan eropanis ( mengagung-agungkan budaya Eropa ).
Berdasarkan pada uraian di atas tampak dengan  jelas bahwa visi, misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang berasakan kemerdekaan, kebebasan, keseimbangan, kesesuaian dengan tuntutan zaman, berkepribadian Indonesia dan kesesuain dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan.
2.      Kurikulum ( Mata Pelajaran )
Istilah “ kurikulum “ berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish.  Dengan pengertian yang sederhana kurikulum dapat diartikan sebagai mata pelajaran atau bidang studi. Kegiatan-kegiatan belajar dimaksud dapat dilakukan dalam kelas dengan mengikuti ceramah, bertanya jawab, mengadakan demonstrasi, bisa juga kegiatan di luar kelas, baik didalam maupun di luar kampus.
Pada bagian berikutnya Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa peajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya : intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti. [4]
3.      Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti termasuk bidang kajian yang mendapat perhatian yang menonjol dari Ki Hajar Dewantara. Pemikiran dan gagasannya tentang pendidikan budi pekerti secara akademis amat luas, kokoh dan komprehensif, sebagaimana hal ini terlihat pada sejumlah referensi dari para tokoh dalam bidangnya yang ia gunakan.
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, budi pekerti adalah jiwa dari pengajaran, dan bukan konsep yang bersifat teoritis sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, dan bukan  pula pengajaran budi pekerti dalam arti mengajar teori tentang baik buruk, benar salah dan seterusnya. Gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara terlihat dengan jelas diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Ia menginginkan agar agar bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan kepribadian yang khas, tidak meniru atau bersikap kebarat-baratan dan sebagainya.
4.      Pendidikan Agama
Keberadan pendidikan Agama di Indonesia adalah merupakan realitas dan konsekuensi logis darri keberadaan bangsa Indonesia yang memiliki berbagai macam agama dan kepercayaan. Pancasila, maupun Undang-undang Dasar 1945 mengakui adanya realitas agama tersebut, dan karenanya perlu di pertegas dalam ideologi dan aturan konstitusional bangsa Indonesia. Pada saat beliau mencetuskan tentang pendidikan banyak terjadi kontroversi karena adanya perbedaan agama. Jalan pemecahan masalah ( solusi ) yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara  terhadap persoalan pendidikan Agama tersebut tampaknya cukup toleran, demokrat, menghargai perbedaan, seimbang, sesuai dengan dengan  prinsip menjunjung hak-hak asasi manusia dan sekaligus juga realistik. Dari sikapnya ini terlihat, bahwa ia memang bukan seorang kiai atau ulama, tapi cara pandangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam.
5.      Pendidikan Taman kanak-kanak
Pendidikan taman kanak-kanak termasuk ke dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh pandangannya yang utuh tentang manusia serta sikap nasionalisme yang kokoh.
6.      Wawasan Global Internasional
Ki Hajar Dewantara sangat sangat menekankan pentingnya pengajaran bahasa Dunia
7.      Sistem Pondok
Konsep pendidikan yang berbasiskan pada sistem asrama ini tampak masih cukup menarik di zaman sekarang ini. Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan berbagai godaan yang dapat menjerumuskan peserta didik dalam kehidupan yang menyuramkan masa depannya, sistem pendidikan yang berbasiskan pondok ini merupakan alternatif yang perlu di pertimbangkan.  
c.       Taman Siswa
1.      Latar Belakang berdirinya Taman Siswa
Taman Siswa adalah sekolah swasta pertama dan terbesar dalam masa kolonial. Taman Siswa menganut semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri Handayani. Tut wuri Handayani berarti bahwa seorang guru disamping harus dapat membangkitkan pikiran siswa juga harus dapat memberi teladan atau contoh yang baik terhadap siswa.[5]
Pada tahun 1922 lahirlah perguruan Taman Siswa yang dipimpin oleh Suwardi Suryaningrat, seorang kerabat Istana Pakualam. Ia adalah salah seorang dari “ Tiga serangkai “ bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusomo yang memainkan peranan penting dalam perkara Comite Bomie Poetera pada tahun 1913. Oleh karena itu, ia menuliskan karangan “als ik een Nederlands was “. Sebuah karangan yang mengkritik secara tajam pemerintah kolonial. tulisannya merupakan awal dari pemikiran politik Indonesia yang berwawasan nasional.
Berbeda dengan Budi Utomo, Taman Siswa yang lahir empat belas tahun kemudian merupakan organisasi yang bertujuan mengembangkan edukasi dan kultural, yang direalisasikan dengan baik. Artinya, Taman Siswa tidak berhenti pada ide saja tetapi betul-betul melaksanakan ide tersebut. Berdirinya sekolah-sekolah di lingkungan  Taman Siswa adalah bukti dari edukasi nasional dan pengembangan kebudayaan nasional adalah kreasi Taman Siswa. Keduanya merupakan senjata ampuh dalam menghadapi dominasi kolonial.
Satu hal yang menarik dari Taman Siswa adalah pelaksanaannya demokrasi dan kepemimpinan. Artinya organisasi ini mengutamakan kepentingan rakyat yang sudah merupakan jiwa dari pemimpin yang selalu “ manunggal “ dengan rakyat. Pemimpin seperti ini merupakan kunci keberhasilan dalam pergerakan. Pergerakan rakyat tidak boleh dibiarkan hingga salah arah atau menimbulkan bencana pada masyarakat Indonesia.
Taman Siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional  merupakan alat untuk membuat persemaian golongan nasionalis. Melalui pendidikan yang berjenjang di lingkungan di Taman Siswa itu dihasilkan elite kultural yang akan berperanan besar dalam pergerakan nasional. Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah swasta, bukan saja dikelola oleh Taman Siswa, tetapi juga banyak yang dikelola oleh organisasi lain, persemaian golongan nasionalis semakin meluas keadaan seperti ini yang di khawatirkan oleh pemerintah karena dengan di biarkannya sekolah swasta berarti memberi peluang kepada perluasan nasionalisme Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme dari Indonesia. [6]
Dengan mendirikan Sekolah Taman Siswa yang pertama, pada masa itu berarti ia mengesampingkan pendekatan politik. Akan tetapi, ternyata ia dapat mewujudkan keinginan bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan Indonesia merupakan bagian penting dari pergerakan Indonesia dan dianggap merupakan dasar perjuangan meninggikan derajat rakyat. Banyak perkumpulan dan partai-partai memasukkan hal itu dalam programnya.
Pernyataan asas Taman Siswa tahun 1922 berisi 7 pasal yang secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : Pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Jika ditetapkan kepada pelaksanaan pengajaran, hal itu merupakan usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka dalam batas-batas tujuan mencapai tertib damainya hidup bersama. Didalam pasal 1 termasuk juga dasar kodrat alam, yang diterangkan perlunya, agar kemajuan sejati dapat diperoleh dalam perkembangan kodrati, yang terkenal sebagai “ evolusi “. Dasar ini mewujudkan sistem among yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai “ pemimpin yang berdiri di belakang “ tetapi memengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri.
Pasal ke 3, menyinggung kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan kebarat-baratan menimbulkan perbagai kekacauan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlampau mementingkan kecerdasan pikiran, yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat dalam kebudayaan sendiri, sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberi kepuasan. Inilah yang disebut dasar budaya.
Pasal 4 mengandung dasar rakyat kerakyatan. “ tidak ada pengajaran, bagaimanapun tingginya, dapat berguna, apabila hanya diberikan kepada sebagian kecil orang dalam pergaulan hidup. Daerah pengajaran harus diperluas “. Pasal 5 merupakan asas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya. Pokok asas ini ialah percaya kepada kekuatan sendiri. Pasal 6 berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan sendiri dengan jalan keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha. Itulah yang disebut Zelfbedruipings-system. Pasal 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir bathin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya. 
Pernyataan asas yang berisi tujuh pasal itu disebut oleh Dr.Gunning sebagai “ manifest yang penting “. Sesungguhnya pernyataan asas itu merupakan perpaduan pengalaman dan pengetahuan Suwardi Suryaningrat tentang aliran pendidikan Barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan “ kebahagia diri, bangsa, dan kemanusiaan”. Reaksi masyarakata atas asas tersebut berbeda-beda. Ada yang menyambut dengan persetujuan, ada yang mengatakan bahwa pernyataan asas itu berarti memutar jarum jam ke belakang, dan ada yang menuduh Suwardi Suryaningrat akan mendirikan sekolahh komunis. [7]
2.       Perkembangan Taman Siswa
Selama delapan tahun sejak berdirinya, Ki Hajar Dewantara dan pembantu-pembantunya bekerja secara diam-diam, dalam arti tidak melayani kritik-kritik dari masyarakat kita sendiri maupun dari pihak Belanda, yang bernada meremehkan usaha pendidikan itu. Namun, secara teratur gagasan dan usaha pendidikan yang hidup itu dijelaskan melalui majalah pendidikan umum yang diterbitkan, yaitu wasita.
Banyak sekolah yang telah berdiri terlebih dahulu kemudian menyerahkan sekolahnya kepada Taman Siswa, seperti sekolah  Budi Utomo di Jatibaru, Jakarta dan Sekolah Rakyat di Bandung. Menjelang kongresnya yang pertama, penerbitan resmi pemerintah Hindia Belanda mencatat pada tahun 1930, bahwa di Jawa terdapat pusat-pusat kegiatan pemeliharaan kesejahteraan penduduk yang diusahakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Disebutnya ada tiga pusat kegiatan, yaitu yang diusahakan oleh Muhammadiyah, Indonesische Studiesclub Surabaya, dan Taman Siswa. [8]
Taman Siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional merupakan allat untuk membuat persemaian golongan nasionalisme. Melalui pendidikan yang berjenjang di lingkungan Taman Siswa itu dihasilkan elite kultural yang akan berperan besar dalam pergerakan nasional. Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah swasta, bukan saja yang dikelola oleh Taman Siswa, tetapi juga banyak yang diikelola oleh organisasi lain, persemaian golongan nasionalis semakin meluas. Keadaan seperti ini dikhawatirkan oleh pemerintah karena dengan dibiarkannya sekolah swasta berarti memberi peluang kepada perluasan nasionalisme Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme di Indonesia.
Menghadapi kenyataan seperti itu pemerintah kolonial berusaha mencegahnya dengan mengeluarkan Undang- undang Sekolah Liar ( Wilde Scholen Ordonantie ) pada tahun 1932. Namun, karena Taman Siswa mempunyai prinsip pengembangan pendidikan swasta berarti undang-undang itu membatasi gerak perguruan swasta pada umumnya. Karenanya, Taman siswa memperjuangkan penghapusannyaa dan ternyata pemerintah mencabutnya pada tahun 1933. Dalam hubungan ini Taman Siswa berhasil mengendurkan langkah politik kolonial di bidang pengajaran. Taman Siswa dan Ki Hajar Dewantara berdiri di pusat pergerakan nasional Indonesia karena situasi pergerakan nasional pada waktu itu sedang menghadapi kesulitan, artinya periode itu merupakan periode pasif karena “ dinonaktifkannya “ para pemimpin pergerakan oleh pemerintah. Dalam situasi semacam itu Taman Siswa muncul dalam bentuk perjuangan lembaga tandingan.
Di Sumatera Barat, sekolah Kaum Muda menolak Undang-undang Sekolah Liar. Sebagai jawabannya pemerintah melakukan penggeledahan dan melarang para guru mengajar. Pada bulan Desember 1932 Rapat Umum permi di Padang Panjang dibubarkan beberapa menit setelah dibuka. Setelah kejadian itu Hamka menentang Undang-undang Sekolah Liar dengan mendirikan Komite Aksi. Tindakan pemerintah dan jawaban kaum pergerakan seperti itu disebabkan karena keduanya mengetahui betapa strategisnya fungsi pendidikan dalam pergerakan Nasional. [9]
Sementara itu Budi Utomo dan Pasundan menarik wakil-wakil dari Dewan Rakyat dan menutup sekolah, serta memberikan bantuan kepada korban perlawanan. Di Yogyakarta diadakan rapat yang berdiri dari Budi Utomo, perkumpulan Politik Katolik, buruh,dan lain-lain.  Di Jember berdiri komite untuk membela perguruan Indonesia dan menantang undang-undang itu.
Betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap pencabulan undang-undang sekolah liar dapat diketahui dari beberapa organisasi pergerakan yang menyatakan berdiri di belakang Ki Hajar Dewantara. Organisasi itu meliputi PSII,PNI Baru, Muhammadiyah,Budi Utomo,Partindo, Istri Sedar dan Permi. Persatuan kerajasama antara organisasi pergerakan merupakan keharusan untuk menciptakan kekuatan tunggal sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa mencabut Undang-undang Sekolah Liar.
Bagi elit baru pembentukan counter institution merupakan suatu keharusan, karena tanpa membentuk lembaga tandingan niscaya pemerintah tidak mau memeberikan hak-hak kepada orang Indonesia dengan tulus ikhlas. Taman Siswa telah memulai membentuk lembaga pendidikan nasional yang dominan.[10]
         KESIMPULAN
Pada masa kolonial penjajahan Belanda, sekolah yang diberikan oleh Bangsa Belanda tidak lah bermutu untuk bangsa Indonesia, sehingga seorang tooh yang dikenal bapak pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara merasa tidak puas, beliau menginginkan pendidikan yang dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia, bukan dari luar dan dap memperoleh Pendidikan yang bermutu dan pencapaian kemerdekaan terhadap diri sendiri dan beliau mendirian sebuah perguruan Tinggi yaitu Taman Siswa. 
Perhatian pendidikan terhadap bangsa Indonesia yang ditunjukkan oleh Ki Hajar Dewantara sangat memberikan efek  brillian terhadap rakyat Indonesia kala itu, dan terbukti bahwa Ki Hajar Dewantara adalah seorang pendidikan yang sejati, pemikiran, visi, mis dan tujuan yang dicapainya bukan hanya dalam teori namun juga dalam hal mempraktekkannya untuk tujuan yang positif. Walau menghadapi kekeliruan yang di tampakkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Namun, semangat dalam mendirikan Taman Siswa tetap berjalan.


                                                            DAFTAR PUSTAKA
  Nata,Abuddin, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, PT. RajaGrafinddo.  Persada: Jakarta, 2005.
Machi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006.
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Djoned Poesponogoro,Mawardi, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
 Badrika,Iwayan,  Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2004.




       








[1] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, PT. RajaGrafinddo.  Persada: Jakarta, 2005, hal , 127.
[2] Abuddin nata, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia,...hal : 130.
[3] Ibid...,hlm. 133
[4] Ibid,..hlm. 135.
[5] Machi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 47.
[6] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hal. 66.
[7] Mawardi Djoned Poesponogoro, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 273.
[8] Ibid..., hlm.273.

[9] Iwayan Badrika, Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2004, hal. 254.
[10] Ibid,,,. Hlm. 255.





































Posting Komentar

0 Komentar