Asal muasal negara Aceh masih terselubung kabut kerahasiaan dan
meskipun memang ada alasan baik untuk mengatakan bahwa negara itu tidak
berbentuk pada masa yang sudah silam, namun harus diakui bahwa sejarah beberapa
dasawarsa sebelum kedatangan orang Portugis yang pertama boleh dikatakan masih
belum seluruhnya diketahui orang. Bahwa berbagai versi yang masih tersimpan
sampai sekarang dan yang sedikit banyak bersifat dongeng itu tidak dapat
dijelaskan lebih lanjut memang pantas disayangkan, lebih-lebih karena timbulnya
pelabuhan dagang sedemikian pada perbatasan dua dunia merupakan masalah yang
mengasyikkan : ingin kita mengetahui apakah gerangan peran penduduk Sumatera
dalam peristiwa itu.
Mengenai peran yang sesungguhnya dipegang oleh unsur-unsur luar
hanya ada cerita-cerita yang turun temurun sampai kepada kita dan yang sukar
diperiksa kebenarannya. Mitos mengenai tempat asal di seberang laut sudah dari
dulu digemari orang Aceh, menurut Davis mereka menganggap diri keturunan Ismael
dan hagar, dan tiga abad kemudian Snouck Hurgronje berkata telah mendengar
cerita tentang seseorang yang bernama Teungku Kutakarang. Ulama dan hulubalang
( yang meninggal pada bulan November 1895 ) dan yang menganggap orang Aceh
lahir dari percampuran orang Arab, Parsi dan Turki. Gagasan sedemikian itu bisa
saja belum lama adanya guna meningkatkan perlawanan terhadap bangsa Eropa.
Namun kita melihat bahwa diantara penduduk Pasai pada mulanya terdapat sejumlah
orang Bengali ( menurut Tome Pires mereka bahkan merupakan mayoritas ), maka
setidak-tidaknya ada kemungkinan bahwa dari pedagang-pedagang yang datang dari
India atau dari Timur Tengah ada yang memegang peranan dalam terbentuknya Aceh,
akan tetapi persoalan ini masih dikesampingkan.
Menurut Teks dari seorang raja Campa, Syah Pu Liang diusir dari
ibukotanya oleh bangsa Vietnam, ia mencari perlindungan di Aceh, lalu membentuk
wangsa baru.
Mengenal 4 Kaom dalam masyarakat Aceh
Untuk menelusuri budaya Adat Aceh dari sisi islami, kita mestinya
atau baiknya melihat riwayat Aceh di bawah pemerintahan Alauddin al Kahhar (
1530-1552 ) dimana pembagian masyarakat Aceh pada saat itu lebih dikenal dengan
sukee ( suku ) atau kaom.[1]
Makin ramailah jadinya pendatang asing kaya dan miskin baik dari daerah luar
maupun dari Malabar, Arab dan Mesir. Sebagai lumrahnya terjadi para pendatang
sedemikian menggabung diri berkampung ke golongan bangsa atau sukunya
masing-masing yang sudah lebih dulu datang atau turun temurun.[2]
Sesuai dengan perkembangan yang di ramaikan oleh para pendatang
asing dan yang terpupuk menjadi satu masyarakat penduduk dibawah pemerintahan
kerajaan yang tersusun, maka jadilah terlihat seperti didapati golongan atau
kaum, yang di zaman Sultan Ala’uddin itupun sudah dikenal terdiri dari empat
kaum yaitu :
1.
Golongan
rakyat asli yang diberi nama kaum Lhee Reutoh atau tiga ratus.
2.
Kaum
Imeum Peut , yang terdiri dari keturunan pendatang Hindu.
3.
Kaum
Tu’ Batee
4.
Kaum
Ja Sandang
Suku lhee Reutoh / leh
terus ( tiga ratus ) yaitu yang berasal dari melayu tua atau pendatang dari
Melayu Tua. Ketika kaum melayu Muda bermigrasi ke Indonesia, golongan melayu
tua menyingkir ke pedalaman. Golongan Melayu Tua kini dikenal berketurunan
Orang Batak, Orang Nias, Orang Gayo dan Alas, Orang Toraja dan lain-lain. Dalam
penyelidikan belakangan diketahui adanya penduduk Asli di Aceh Besar
berketurunan atau mirip dengan Orang Batak. Di referensi yang lain yang saya
dapatkan Orang-orang Mantee – Batak Asli merupakan suku lhee reutoh. pada pembahasan yang berbeda
yaitu Asal muasal sebutan Lhee Reutoh
atau Tiga Ratus ialah demikian pada suatu ketika terjadi sengketa hebat antara
golongan rakyat asli sekitar tiga ratus massa, dengan golongan pendatang Hindu
sekitar 400 , yang tidak dapat diatasi.
Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok bersenjata antara
kedua golongan tersebut yang tadinya berpangkal pada sebab soal perzinahan.
Untung juga diantara mereka si penengah diperoleh sesuatu jalan keluar.
Kebijaksanaan yang dirumuskan berhasil dipenuhi oleh mereka yang bersalah.
Dengan demikian kesalahan mereka dimaafkan, dan kedua kaum tersebut mengikat
silaturrahimnya dengan akrab. Sejak saat itu rakyat asli diperkenalkan dengan
kaum Lhee Reutoh dan golongan Peut Reutoh
diperkenalkan dengan Imeum Peut.[3]
Dalam pemerintahan Sultan Al –Kahhar, yang akan diungkapkan lebih
jauh di bawah, telah diatur sistem pembagian suku guna mengungkap peranan
kegotong-royongan masing-masing dan demi bakti mereka kepada penguasa. Untuk
golongan suku Batak ditandai dengan nama suku Leh Retus (Tiga Ratus ). Van Langen mencatat bahwa
tempat asli mereka di Lampagar atau Lambaid ( VI Mukim ). Kaum ini terdiri dari
atas Mante dan Batak Karo.
Kaom Imuem Peut, orang-orang Hindu kaom Imuem peuet merupakan orang-orang
yang datang dari tempat Asing. Suatu keterangan dari Van Langen, mengatakan “
kaum Imuem Peuet “ sebagaimana didapati dalam karangan G.K.Niemann, asal mula
orang Aceh semuanya dari bangsa Hindu. Namun pendapat ini ditolak oleh Snouck
Hurgronje. Keterangannya dianggap berasal dari orang Aceh yang tidak paham akan
sejarah. Selain itu penduduk Aceh terdiri dari orang Arab, Persia, Batak,
Turki, dan Mante, yang jumlahnya sedikit sekali dan tinggal dekat Lam No dan
mempunyai bahasa sendiri. Asal muasal disebut Imeum Peut karena semula mereka
menempati empat mukim. Yaitu Tanah Abee, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap
mukim dikepalai imumnya masing-masing., semuanya menjadi empat imam. Kaom ini
yang terdiri dari mereka yang berasal dari India ( Hindu ).
Kaom Tok Batee, setelah Kaom
Imuem peuet barulah muncul Kaom tok batee yaitu kaom yang tinggal menetap.[4]
Dari buku lain yang saya perdapatkan yaitu Tentang golongan ini yang
diperkenalkan dengan Tu’ Batee, yang terdiri dari pendatang luar Aceh, diketahui
asal muasal namanya yaitu, Sultan Al Kahhar merencanakan pembangunan sebuah
istana baru. Untuk ini dikeluarkannya perintah supaya golongan pendatang luar
daerah ini bergotong royong mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan
istana tersebut. Begitu bersemangatnya mereka mengumpul batu-batu yang
dimaksud, sehingga tepat pada suatu hari tiba-tiba saja Sultan memberi tahu supaya pengambilan batu
dihentikan sebab batu sudah cukup ( Tu’Batee ), sejak saat itu golongan ini
dinamakan Kaum Tu’Batee.[5]
Kaom ini yang terdiri dari atas orang-orang asing campuran yaitu Arab, Parsi,
Turki, Portugis dan sebagainya.
Kaom Ja Sandang, ini adalah
kaom yang terkhir muncul merupakan kaom yang suka menyandang hadiah/ pemberian
kepada Sultan. Mengenai Ja Sandang , ada disebut-sebut bahwa tokoh ini asalnya
kepala dari suku pribumi Manteu yang mendiami Mukim Lam Panas. Suatu ketika Al
Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan. Ketika melewati Lampanaih
Mukim XXII ia mengalami kehausan , tidak seorang yang ditemui berhasil
memperoleh air untuk menghilangkan dahaganya, tiba-tiba ia bertemu dengan
seorang penyandang Nira, lalu menawarkan minuman minuman tersebut kepada
Sultan, yang menyambut dengan rasa legah terutama setelah selesai minum.
Sultan mengucapkan Terima Kasih sambil mengundangnya datang ke
Banda Aceh jika pengamanan sudah selesai. Orang itu menjawab, bagaimana mungkin
para petugas akan mengenalinya sebagai orang yang pernah menghilangkan dahaga
Sultan untuk memperkenankannya masuk ke
dalam. Sultan lalu memberi petunjuk , yaitu supaya orang itu menyandang bambu
niranya dengan memberi tanda sehelai daun kelapa dikepalanya.
Demikianlah setiap kali Ja Sandang pergi ke kota ia
berkesempatan masuk istana , dan dengan
demikian semakin dikenal oleh sultan bahwa ia seorang yang baik.[6]
Kaom ini terdiri dari lapisan masyarakat tani tapi setia kepada raja, sehingga
kelompok Ja Sandang ini merupakan faktor yang harus diperhitungkan juga.
Menurut keterangan yang diperoleh Dr.Snouck Hurgronje turunan orang
itu telah diangkat menjadi kadi gelar Malikul ‘Adil , demikian tradisi itu
diteruskan.
Pembagian atas kaum-kaum seperti di atas, walaupun secara asli
tidak bersumber dari asal usul yang murni, namun setelah itu ia memperoleh
makna keturunan, karena dalam perkembangannya, masing-masing kaum itu sejak
penyebaran alamiahnya yang pertama telah menarik garis keturunan semata-mata
dari keturunan lelaki.
Meskipun berbagai kaom itu antara yang satu dengan lainnya
sering bertengkar dan bermusuhan, namun pada saat terjadi perang dengan Belanda,
semua kaom tersebut bersatu padu melawan Belanda.
Fungsi Kaom Tersebut dalam masyarakat
Menurut pantun yang terdapat tentang 4 kaom tersebut, yaitu
menunjukkan bahwa dalam pantun ini yaitu fungsi 4 kaom tersebut yaitu:
Oreng Lhe Retoih anek derang
Oreng Ja Sandang Jira haleba
Oreng Tu’ Batee na bacut
Oreng Imeum Peut jang gok gok donia
Maksudnya yaitu kelompok tiga ratus seperti aneuk derang ( sejenis
tumbuhan muda yang berkembang dengan suburnya setelah panen )
Kelompok Ja Sandang “ jeura Haleuba “ ( biji kelabat, lebih besar
dari biji drang dan biasanya dipakai sebagai bumbu dalam masakan kari sejenis
masakan asal India, gunanya untuk menghilangkan bau amis pada daging )
Kelompok Tu’ Batee “ bacut-bacut “( tidak keras, mungkin yang
dimaksudkan disini, dalam jumlah yang kecil )
Kelompok Imuem Peut “ nyang gok gok donya “ ( yang
mengguncang-guncang dunia )
Menurut yang saya dapat informasi tentang 4 kaom ini karena hasil
buku atau referensi yang diperdapatkan tentang fungsi 4 kaom ini sangat sulit
jadi saya mengambil inisiatif untuk bertanya-tanya kepada senior atau orang
yang mengetahui yaitu:
Kaom tok batee adalah sebagai pertahanan atau prajurit.
Kaom Imeum Peut adalah Ulama, yaitu yang mengadili tentang
hukum-hukum agama
Kaom Ja Sandang menurut keterangan yang diperoleh Dr. Snouck
Hurgronje turunan ini telah diangkat menjadi Kadi dengan gelar maliku Adil , demikian tradisi
itu diteruskan.
[1]
H.Badruzzaman
Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh Dalam Membangun Kesejahteraan, Banda
Aceh : CV.Boebon Jaya, 2002, hlm. 1.
[2] H.Mohammad Said, Aceh
Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, hlm. 175.
[4]
H.Badruzzaman
Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh Dalam Membangun Kesejahteraan, Banda Aceh
: CV.Boebon Jaya, 2002, hlm. 2.
[5]
H.Mohammad Said, Aceh
Sepanjang...,hlm.176.
0 Komentar