POCUT BAREN
Siapa yang tidak mengenal, dengan pahlawan wanita yang dijuluki
dengan si kaki besi yang mampu membela Nanggroe dan agama nya dengan semangat
dan gagah berani POCUT BAREN , jika kita menapaki jejak masa lalu Aceh, kita
akan segera mengetahui sejumlah wanita yang mempunyai karya besar yang tidak
kalah dengan para pria. Banyak wanita yang turut serta memberikan andil besar,
terutama dalam pertumbuhan dan pengembangan Kerajaan Aceh serta perjuangan
dalam melawan imperialisme dan kolonialisme bangsa asing yang ingin menancapkan
kuku di tanah rencong ini .
Jika daerah ini, peranan wanitanya belum begitu menonjol, maka Aceh
justru muncul banyak tokoh-tokoh wanita yang menjadi pemimpin militer maupun
kepala pemerintahan. Hal ini membuktikan bahwa dalam gerakan emansipasi wanita,
Aceh selangkah lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Terbukti dengan adanya wanita yang menjadi Sultanah ( wanita kepala
pemerintahan Kerajaan Aceh ), Uleebalang ( kepala kenegerian ), Laksamana (
pemimpin angkatan perang ), pemimpin gerilya melawan Belanda , penyair dan
sastrawan wanita.
Pocut baren seorang wanita bangsawan yang lahir di Tungkop. Ia
adalah putri Teuku Cut Amat, seorang Uleebalang tungkop yang sangat
berpengaruh, terpandang berwatak keras dan pantang menyerah. Daerah
keuleebalangan Tungkop merupakan bagian dari daerah federasi Kaway XII yang
letaknya berada di pantai Barat Aceh, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten
Aceh Barat. Sebagaimana lazimnya setiap anak perempuan Aceh, Pocut Baren dididik dengan pelajaran agama islam.
Pendidikan agama ini di bawah asuhan para ulama-ulama yang didatangkan ke
tempatnya seperti yang banyak dilakukan
oleh keluarga uleebalang lainnya. Dari hasil pendidikan agama yang
diperolehnya selama bertahun-tahun di meunasah, rangkang dan dayah itulah
tertanam dalam jiwanya satu kepribadian tertentu yang berakar dalam dan teguh.
Sesuai dengan ajaran yang diyakininya, Pocut Baren sanggup berkorban apa saja,
baik harta benda, kedudukan maupun nyawanya, demi tegaknya kepentingan agama
dan bangsa Keyakinan serupa itu ia buktikan sendiri dalam kehidupan
sehari-hari. Ia dengan rela meninggalkan kesenangan dan kemewahan.
Selain pendidikan agama yang begitu kental, situasi politik dan
peperangan yang berkepanjangan di aceh Barat telah membentuk sikap dan watak
pocut baren semakin dewasa. Sejak kecil ia telah dilatih dengan berbagai ujian berat yang mampu membentuk dirinya
sebagai seorang yang kuat, tangguh, ulet, berani dan semangat yang membaja
untuk memusuhi Belanda yang dianggapnya kaphe ( kafir ). Pada saat wanita ini
menginjak usia dewasa, sebagian Aceh Barat telah dikuasai oleh Belanda. Maka
tidak mengherankan jika ia tumbuh menjadi seorang wanita yang taat beribadah
dan patuh menjalankan syariah islam, serta menjadi pejuang yang tangguh melawan
Belanda.
Pocut Baren menikah dengan
dengan seorang Keujruen yang menjadi uleebalang gume. Suaminya itu juga
seorang pejuang yang memimpin perlawanan di Kawasan woyla
Pocut baren pernah mengepalai kenegerian di Tungkop yang berada dalam wilayah Federasi Kaway XII Aceh Barat.
Pocut baren ialah seorang tokoh pejuang yang sepak terjangnya pantas diteladani
oleh generasi sekarang. Wanita ini pada masa perang Aceh sangat terkenal
keberaniannya melawan Belanda , ia pejuang yang heroik, beliau juga dikenal
sebagai uleebalang wanita yang mampu membangun daerahnya di Tungkop, Aceh Barat
yang porak poranda sebagai akibat terjadinya perang yang berkepanjangan. Pasca
perjuangan melawan Belanda , ia bekerja keras untuk menyejahterakan rakyatnya,
melalui perbaikan agronomi, kehidupan masyarakat menjadi lebih makmur dan
sejahtera. Beliau juga seorang pemimpin yang handal, ia juga seorang sastrawan
yang produktif menuliskan syair-syairnya dalam bahasa Aceh.
Pocut Baren merupakan seorang wanita yang tahan menderita, sanggup
hidup dalam waktu lama dalam pengembaraannya di gunung-gunung dan hutan
belantara. Pengalaman dan penderitaan hidup seperti itu mulai ia jalani semasa
berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Ia sangat dihormati dan disegani
oleh teman-teman seperjuangannya dan ditaati oleh pengikut-pengikutnya serta
ditakuti leh musuh-musuhnya. Hal ini diakui sendiri oleh Doup, salah seorang
mantan Komandan marsoe di Aceh yang ditulisnya dalam bukunya. Berkat dalam
kepemimpinannya dalam peperangan dengan taktik perang gerilya, Belanda dipaksa
menelan kerugian besar.
Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak saat
muda, ia tlah terjun ke kancah pertempuran. Pocut baren telah menunjukkan
kesetiaanya yang tinggi pada Cut Nyak Dhien, baik dalam melakukan perlawanan
terhadap Belanda maupun dalam pengembaraan bersama dari satu tempat ke tempat
lain, dari satu hutan ke hutan lain dengan menahan lapar dan pendertitaan.
Pengalaman bertempur yang diperoleh dan
perjuangan bersama Cut Nyak Dhien itu, semakin memperteguh pendiriannya dalam
perlawanan terhadap Belanda , terutama ketika ia memimpin sendiri pasukannya, begitu
suaminya gugur dalam pertempuran, ia bertekad untuk melanjutkan perjuangan
suaminya membebaskan Aceh dari cengkraman Belanda.
Pocut baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun
1903 hingga tahun 1910. Dalam peperangan Belanda dilengkapi persenjataan yang
lebih baik dan modern, sedangkan dipihak pejuang Aceh yang dipimpin oleh Povut
Baren lebih kecil personilnya dan persenjataannya pun kalah bagus, tetapi
dengan semangat juangnya yang membaja, membuat belanda sering kedodoran.
Berkat semangat perang sabil yang tertanam dalam jiwanya, Pocut
Baren bersama suaminya sadar bahwa sewaktu-waktu akan tewas ditembus peluru
musuh. Ia rela mati syahid demi kedaulatan tanah rencong. Malang tak dapat
ditolak, mujur tak dapat diraih bagi Pocut Baren ketika bersama suaminya ia
bertempur antara hidup dan mati melawan Belanda . pertempuran terjadi di
wilayah Keujren Game, Aceh Barat , meningat kekuatan personil militer Belanda
lebih besar dan persenjataannya pun juga
tidak seimbang serta posisi pasukan Aceh kurang menguntungkan, maka
gugurlah suami Pocut Baren dalam
pertempuran tersebut, sedangkan pocut baren berhasil meloloskan diri dari
kepungan Belanda, walaupun sedih atas kematian suaminya, ia tetap tidak akan
menyerah , bahkan ia bertekad akan meneruskan perjuangan suaminya. Dengan
syahid suaminya, semua tugas memimpin pasukan jatuh ke pundaknya.
Walaupun memimpin sendirian Pocut baren tidak menyerah dan hasilnya
juga meningkat , dengan membangun benteng pertahanan di Gunung Macan yang akan
dijadikan sebagai pusat pusat pertahanannya. Dari benteng inilah direncanakan
segala penyerangan terhadap tangsi militer Belanda dan penyergapan terhadap
patroli-patroli musuh yang sedang lewat. Bagaimanapun cepatnya pertahanannya,
Pocut Baren tidak dapat membuat pasukan Belanda menyerah kalah dan menghentikan
usaha perburuan mereka terhadap dirinya. Kelemahan dibidang persenjataan jika
dibandingkan dengan persenjataan serdadu Belanda, merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan pasukan Pocut Baren barangsur-angsur melemah karena banyak
pasukannya yang gugur dalam pertempuran.
Setelah serdadu Belanda diperkuat dan didatangkan bala bantuan dari
Batavia ( jakarta) , maka penyerbuan terhadap benteng pertahanan pocut baren di
Gunung Macanpu dimulai secara besar-besaran. Pasukan Belanda di pimpin oleh
Letnan Hoogers berusaha menggempur benteng pertahanan Pocut Baren dengan
dahsyatnya. Sebaliknya , pasukan Pocut Baren berusaha mempertahankan benteng
Macann itu dengan gigihnya. Namun demikian, seperti kata pepatah “ malang tak
dapat ditolak, mujur tak dapat diraih “, Pocut Baren tertembak oleh pasukan
musuh dengan luka yang cukup parah. Dengan luka di kakinya itulah maka Pocut
Baren berhasil ditangkap serdadu Belanda. Kemudian ia dibawa ke Meulaboh
sebagai Tawanan perang, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1910 yang
menandai akhirnya perlawanan seorang
pejuang wanita asal Tungkop, Aceh Barat. Luka dikakinya semakin parah, sehingga
sulit untuk dapat disembuhkan. Upaya untuk menyembuhkan harus dilakukan oleh
tim dokter Belanda yang berada di Kutaraja ( sekarang Banda Aceh ). Untuk
proses pengobatan ini, maka pocut Baren diboyong ke Kutaraja. Mengingat lukanya
yang sudah parah, maka tim dokter yang merawatnya terpaksa melakukan amputasi, kaki Pocut Baren
dipotong. Wanita ini dengan tegar menerima kenyataan pahit yang harus
dihadapinya.
Selama berada di Kutaraja, Pocut Baren diperlakukan sebagaimana
layaknya seorang tawanan perang dan
seorang uleebalang. Masa-masa berada di tahanan Belanda, merupakan massa
penantian yang dirasakan amat panjang dan menyiksa batinnya. Van Daalen yang
menjabat Gubernur militer Aceh dan daerah takluknya, menjatuhkan hukuman buang
ke pulau Jawa. Mengetahui hukuman itu , seorang perwira penghubung bangsa
Belanda , T.J.Veltman menyampaikan saran kepada Gubernur Militer yang
bersangkutan agar Pocut Baren jangan dibuang ke pulau jawa, tetapi dikembalikan
saja ke daerah asalnya sebagai Uleebalang di daerah Tungkop. Dengan diangkatnya
Pocut Baren sebagai Uleebalang ,
diharapkan perlawanan rakyat didaerah tersebut dapat dihentikan , saran
tersebut akhirnya diterima oleh Van Daalen.
Dengan kembalinya Pocut Baren ke daerah asalnya sebagai uleebalang
Tungkop, maka berakhirlah perlawanan total wanita itu. Veltman mengusulkan
agar Pocut Baren diangkat menjadi
Uleebalang dan dipercaya untuk membangun daerahnya yang porak poranda sebagai
akibat adanya peperangan yang berlarut-larut. Veltman yang fasih berbahasa Aceh
berusaha melakukan kontak yang terus-menerus dengan wanita itu, sehingga ia
dapat membuat laporan keadaan mengenai perubahan yang terjadi mengenai diri
wanita itu. Apalagi ia adalah seorang wanita yang jujur dan suka berterus
terang, suatu sikap yang amat dihargai oleh Veltman.
Setelah mengakhiri
pertempuraan dan menjadi ulee balang ia melanjutkan untuk mensejaterakan
rakyatnya dalam bidang ekonomi, pertanian dan dalam berbagai mata pencaharian
lainnya dalam daerah tersebut, kemudian daerah tersebut menjadi makmur, aman
dan tenteram. Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan
menjadi daerah yang aman dan makmur membuat
pemerintah Belanda yang membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya laporan letnan H. Scheurleer, komandan Bivak
Tanoh Mirah yang juga merangkap penguasa sipil. Ia melaporkan kepada atasannya
di Kutaraja bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan
ketertiban, keamanan dan kemakmuran. Sebagai tanda terima kasihnya, Viltman
sekali lagi lagi memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut baren. Ia menghadiahkan
sebuah kaki palsu yang dibuat dari kayu untuk wanita itu. Kaki palsu tersebut
didatangkan langsung dari Belanda. Setelah memakai kaki palsu pemberian Viltman
pocun baren mendapat julukan sebagai “ De Vrouwelijke oeleebalang met het
houten been”, keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan
memantapkan keamanan dan ketertiban di daerahnya menunjukkan bahwa Pocut Baren
bukan hanya seorang pejuang dan pemimpin rakyat, tetapi juga seorang yang ahli
dalam bidang agronomi.
Pocut baren juga sebagai seorang sastrawan, disamping seorang yang
tangguh dan berani beliau juga mmengembangkan syair-syairnya mengembangkan
seninya kesusteraannya. Pantun dan syairnya di tulisnya dalam bahasa Aceh dan
huruf melayu arab. Oleh para penulis Belanda, karya sastranya banyak yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di perpustakaan Universitas
leiden di Nederland oleh masyarakat Aceh
sendiri, karya sastranya juga telah banyak dilantunkan pada waktu-waktu tertentu
dan acara-acara yang memungkinkan untuk dibacakan. Bahkan banyak orang yang
telah menghafal buah karyanya dan ia dendangkan pada saat-saat senggang atau
pada acara keluarga. Salah satu contoh syairnya yang tertuang dalam bahasa Aceh
sebagai berikut :
Ie Krueng Woyla ceukoe likat
Engkot jilumpat jisangka ie
tuba
Seungap di yup seungap di rambat
Meurubok Barat buka suara
Bukon sayang itek di kapay
Jitimoh bulee ka si on sapeue
Bukon sayang bilek ku tinggay
Tempat ku tido siang dan malam.
Pocut Baren akhirnya meninggal pada tahun 1933, meninggalkan
rakyatnya untuk selama-lamanya.
Referensi buku Abdurrahman,G,Agus budi Wibowo, Elly Widarni,Azhar
Munthasir, Seno, dan Hasimi, Biografi
pejuang aceh , Banda Aceh, 2002.
0 Komentar